Terangkat Karena Gempa

Edisi: 25/34 / Tanggal : 2005-08-21 / Halaman : 42 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Rulianto, Agung, Basral, Akmal Nasery, Kuswardono, Arief A.

LELAKI tua itu masih cekatan mengemudikan kapal motor Pulau Sumat. Ia membawa kapal bermanuver lincah di antara gugusan karang di Teluk Sinabang. Sejurus kemudian, kapal melesat di sepanjang pesisir Pulau Simeulue, Aceh, ke arah barat menuju Pulau Salaut Besar dan Salaut Kecil.

Dengan suara parau, sang nakhoda memperkenalkan namanya: David Daniel Mamero. Usianya 62 tahun. Terdengar bukan nama Aceh. Dia memang perantau dari Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, dan sudah lama menetap serta beranak-pinak di Simeulue. Anak kedua David, seorang perempuan, bahkan ikut hilang terseret tsunami karena kebetulan sedang berada di Meulaboh. ”Dia baru saja lulus ujian menjadi pegawai negeri sipil,” ujarnya getir.

Dua hari sebelumnya, awal Agustus lalu, Tempo mendarat di Lapangan Terbang Lasikin, Simeulue. Penerbangan sejam dari Banda Aceh ditempuh dengan menggunakan pesawat DASH-7 yang disewa United Nations Humanitarian Air Service. Tampak di sana-sini sisa kerusakan hebat akibat gempa Desember tahun lalu dan akhir Maret 2005. Rumah penduduk dan bangunan-bangunan milik pemerintah hancur berantakan. Rumah sakit, kantor bupati, dan kantor Kepala Dinas Kesehatan, yang megah dan baru diresmikan tiga bulan, rusak berat.

Dari Simeulue, rupanya tak mudah mencapai Salaut. Tak ada kapal reguler yang melayani rute ke dua pulau terluar itu. Soalnya, keduanya tak berpenghuni. Di sana cuma ada kebun kelapa. Pulau itu bertambah angker karena jaraknya hanya lima kilometer dari episentrum alias pusat gempa yang kemudian meniupkan tsunami dahsyat.

Di kalangan penduduk Simeulue, beredar cerita-cerita seram tentang pulau tersebut. Konon,…

Keywords: -

---

Foto Terkait