Lobi Di Balik Selang Infus

Edisi: 09/36 / Tanggal : 2007-04-29 / Halaman : 63 / Rubrik : INVT / Penulis : Parera, Philipus, Hidayat, Bagja, Suprayogi, Yosep


DOKTER di sebuah rumah sakit di Jawa Te-ngah, sebut saja Rudi, terkejut pada sebuah siang Februari lalu. Seorang sales obat menunjukkan foto kopi surat edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Farid W. Husain. Surat itu berisi imbauan agar rumah sakit menggunakan infus yang dipanaskan pada suhu 121 derajat Celcius selama 15 menit. Rudi bingung. Tak biasanya Pak Dirjen mengurusi soal pembelian obat.

Sebelumnya, pada pertengahan Januari 2006, Sanbe Farma meluncurkan pertama kalinya produk cairan intravena satu-satunya di Indonesia—bahkan di Asia Tenggara—yang disterilkan dengan metode overkill, dengan suhu persis yang disebutkan dalam surat Farid. Rudi langsung mengartikan surat itu adalah perintah untuk memakai infus Sanbe. Tapi setelah melihat harganya, dia menampik. ”Terlalu mahal,” katanya.

Surat itu juga membuat penasaran Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Cissy B. Kartasasmita. Dia langsung menghubungi Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. ”Dia protes mengapa Depkes mewajibkan mereka membeli infus yang mahal?” katanya saat ditemui Tempo, akhir Maret lalu. ”Saya langsung jawab, boleh kok (memakai infus merek lain).”

Surat imbauan itu makin membuat bingung para dokter dan rumah sakit. Karena dalam beberapa bulan terakhir, media massa tiba-tiba gencar memberitakan infus yang tidak steril, bahkan membahayakan pasien yang menggunakannya. Infus yang disebut bisa mematikan itu dibuat dengan pemanasan di bawah 121 derajat Celcius.

Pada awalnya memang tak jelas ke mana juntrung-an berbagai kabar itu. Tapi, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menghentikan produksi infus PT Otsuka Indonesia selama tiga bulan sejak 13 Januari 2007, mulailah terkuak arah se-gala urusan ini. Rupanya, Otsukalah yang jadi sasaran tembak karena masih memakai teknologi sterilisasi bioburden di mana infus hanya dipanaskan pada suhu 102 derajat selama 45 menit.

Urusan jadi runyam karena produsen infus asal Jepang itu merupakan penguasa pasar infus dalam negeri. Bersama anak perusahaanya, PT Widatra Bhakti, mereka menguasai 80 persen pasar infus di Indonesia. Begitu produksinya distop, infus langka di pasar. Apalagi, pada saat yang bersamaan, Indonesia tengah dilanda bencana dan banjir.

Rumah sakit pun penuh dengan pasien, sebagian besar karena demam berdarah dan diare. Pengelola rumah sakit pun dihadapkan pada pilihan sulit. Stok Otsuka menipis karena produksinya distop, sementara infus yang ada di pasar harganya dua kali lipat. Mereka kemudian berpaling ke produk impor yang murah. (Baca: ”Berpaling ke Negeri Jiran”)

Investigasi ini menemukan sebuah kronologis yang sangat teratur. Ada perusahaan dengan metode bioburden yang dicibir tidak steril hingga produksinya harus disetop. Sementara itu, ada produsen lain yang sedang mengkampanyekan infus mereka paling steril karena dibuat memakai overkill. Perang dagang menandai sebuah politik farmasi yang merasuk ke kamar-kamar rumah sakit hingga gedung parlemen.

***

Gendang perang mulai terdengar ketika pada 8 Februari 2006, Farid mengeluarkan surat imbauan tadi. Dia merujuk berita di harian Suara Pembaruan empat hari sebelumnya. Koran sore itu mengutip ahli farmakologi Universitas Indonesia, Prof Iwan Darmansjah, bahwa sterilisasi yang benar memakai pemanasan 121 derajat Celcius selama 15 menit.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.