Rumah Kartu Bernama Indonesia
Edisi: 22/36 / Tanggal : 2007-07-29 / Halaman : 32 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Susanto, Heri, Arvian, Yandhrie, Dhyatmika, Wahyu
TAIFUN krisis moneter yang bermula di Thailand, pada 2 Juli 1997, dengan cepat mengempaskan negeri-negeri tetangganya, bahkan jauh ke Korea Selatan. Hanya dalam semalam, kurs mata uang Thailand, baht, terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi sampai 25 persen. Dua pekan kemudian, rupiah ikut lurut dan jatuh paling dalam. Sampai awal November, ketika Dana Moneter Internasional (IMF) masuk ke Indonesia, kurs rupiah sudah jatuh lebih dari 30 persen.
Namun pemerintah tampaknya terlalu menganggap sepele krisis ini. Dalam pidatonya di DPR, pada 16 Agustus 1997, Presiden Soeharto mengatakan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Menurut Menteri Keuangan saat itu, Marâie Muhammad, IMF pun menganggap krisis di Indonesia pada level moderat, sebagai imbas dari yang terjadi di Thailand. âIMF under estimate,â kata Marâie kepada Tempo, belum lama ini.
Dalam kenyataannya, krisis Indonesia jauh lebih parah dari yang diperkirakan banyak pihak. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia menahan gejolak kurs, dengan melebarkan pita intervensi, ternyata gagal. Kurs rupiah terus bergerak ke posisi Rp 2.800-an per US$ 1, dari awal Juli sekitar Rp 2.437 per US$ 1. Indonesia akhirnya mengikuti jejak negara korban krisis dengan mengambangkan kurs rupiah pada 14 Agustus 1997.
Pada saat yang hampir bersamaan, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selama Juli-Agustus 1997, BI empat kali menaikkan suku bunga SBI, dari di bawah 10 persen pada awal Juli, sampai di kisaran 20 persen pada akhir Agustus 1997. Langkah ini kemudian diikuti kenaikan suku bunga kredit, termasuk pinjaman antarbank.
Hasilnya memang terlihat langsung. Rupiah, yang sempat hendak menembus level Rp 3.000 per US$ 1, perlahan-lahan turun hingga Rp 2.600-an. Namun efeknya cuma sejenak. Kebijakan uang ketat itu ternyata tak hanya menghentikan pergolakan rupiah, tapi juga memukul dunia usaha. Naiknya suku bunga membuat dunia usaha mandek. Mereka tak sanggup lagi berproduksi karena biaya produksi naikâterutama yang berbahan baku imporâdan beban pembayaran bunga juga melonjak.
Padahal sebagian besar perusahaan papan atas Indonesia sebelumnya sudah jungkir balik menghadapi utang luar negeri. Perusahaan-perusahaan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…
Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…