Mustofa Bisri: Lebaran Itu Haknya Allah, Kok Diributkan

Edisi: 33/36 / Tanggal : 2007-10-14 / Halaman : 42 / Rubrik : WAW / Penulis : Rosyid, Imron, Rofiuddin,


Lengannya cepat-cepat ditarik setiap kali ada lawan bicara berusaha menjemba tangannya untuk dicium. Tampaknya dia jengah dengan tradisi mencium tangan para kiai. Di daftar riwayat hidupnya, tertera pekerjaan sebagai penulis. Padahal, kalau mau, dia bisa menyebut ”Pengasuh Pondok Pesantren”, ”Rais Syuriah PB NU”, atau atribut bergengsi lain.

Jadwalnya selalu padat, dia kerap bepergian. Tapi, di bulan Ramadan, Ahmad Mustofa Bisri menjadi mudah ditemui. Datang saja ke Kompleks Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin atau Taman Pelajar di Rembang, Jawa Tengah. Pasti Gus Mus—begitu dia biasa disapa—ada di sana. Sejak kakaknya, Cholil Bisri, wafat, dialah yang menjadi pengasuh pondok peninggalan orang tua mereka. ”Selama 11 bulan saya kerap meninggalkan rumah. Kini giliran satu bulan bersama keluarga di rumah,” begitu dalihnya menampik berbagai undangan berceramah dan sebagainya.

Supel dan hangat, Mustofa Bisri mudah bergaul dengan siapa saja. Kehidupan sosialnya, yang luas dan kaya, terbaca dengan mudah. Ketika dia menikahkan anaknya pada Agustus lalu, misalnya, tamu mengalir dari mana-mana, tanpa mengenal kelas, suku, agama.

Kiai Bisri adalah teman berbincang yang asyik. Tutur katanya lembut—nyaris tanpa tekanan, bahkan saat menyampaikan soal yang tidak ia sukai. Asap rokok nyaris tidak berhenti mengepul dari mulutnya saat dia memberikan wawancara. Rokok kretek sigaret dan kretek filter bergantian dia isap melalui sebuah pipa gading cokelat. ”Saya sedang banyak keinginan. Mau nulis buku, bikin novel, cerpen, dan juga merampungkan 50 tulisan dalam satu tema, tapi baru selesai lima,” ujarnya. Produktivitasnya dalam menulis, baik sastra maupun buku agama, sulit ditandingi kiai lain.

Di ruang tamu rumahnya, dihiasi hamparan karpet hijau tanpa perabot, Gus Mus menerima Imron Rosyid dan Rofiuddin dari Tempo pada Jumat malam pekan lalu. Sembari lesehan, dia menjelaskan keberagaman beragama, termasuk dalam hal merayakan Idul Fitri. Ditemani secangkir kopi lelet dan beragam kue suguhan santrinya, waktu dua jam terasa cepat berlalu.

Berikut ini nukilannya.

Bagaimana Anda melihat perbedaan penetapan Idul Fitri tahun ini?

Akar masalahnya adalah negara kita bukan negara agama, bukan pula negara sekuler. Jadi pemerintah bingung, he-he-he…. Menurut pakemnya, yang berwenang menetapkan Lebaran adalah pemerintah. Dulu zaman Nabi ndak sulit-sulit, cah angon lapor lihat bulan, Nabi hanya tanya, ”Kamu syahadat tidak?” ”Ya, saya syahadat.”…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…