In Memoriam: Zamrud Khatulistiwa

Edisi: 41/36 / Tanggal : 2007-12-09 / Halaman : 54 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Suriaji, Yos Rizal, Suditomo, Kurie, Widyanto, Untung


Hajatan raksasa. Konvensi Perubahan Iklim mulai digelar di Bali pada awal pekan ini. Dihadiri hampir seluruh negeri di muka bumi—sekitar 10 ribu orang dari 190 negara—konvensi ini membahas isu utama pengurangan emisi gas rumah kaca. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemberian insentif untuk negara pemilik hutan melalui perdagangan karbon.

Ini adalah bagian dari mekanisme penyelamatan bumi dari ancaman pemanasan global. Kandungan karbon mesti tetap terjaga di perut bumi agar tak menguap ke angkasa, mendidihkan suhu alam semesta, melelehkan es di kutub.

Misi Indonesia adalah meloloskan skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi (REDD). Ini semacam imbalan untuk upaya penjagaan kandungan karbon di hutan dan tanah gambut. Pertanyaannya: apa yang akan dijual Indonesia saat deru mesin-mesin tebang kayu justru kencang melaju? Seberapa banyak hutan kita tersisa? Tempo melaporkan dari hutan Riau, Kalimantan, dan Papua.

Gembur dan hitam. Ketika dipijak, kaki ambles seketika. Uap panas meruap, mendidihkan hawa di sekelilingnya. Sepotong tanah itu adalah bagian dari lahan gambut seluas 14 ribu hektare di Kuala Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu. Lahan itu kini tengah diolah menjadi kebun kelapa sawit—menambah keluasan kebun sawit yang telah banyak terbentang di tengah hutan Riau.

Tak ada panorama hijau di tanah itu. Empat bulan lalu lahan tersebut dibakar setelah pohon yang tumbuh di atasnya ditebang habis. Inilah arti harfiah dari ungkapan ”bagai api di dalam sekam”. Sekali terbakar, lapisan tanah gambut bakal menyimpan bara hingga berbulan-bulan. Pertengahan November lalu, Tempo melintasi wilayah itu bersama sejumlah aktivis Greenpeace. Mereka menyebutnya ”Kawasan deforestasi dengan isu paling lengkap”.

Dalam istilah Hapsoro, juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, ”Riau adalah lokasi deforestasi terbesar di Indonesia.” Di sini, sebagian besar hutan habis ditebang, dibakar, dan dikonversi menjadi kebun sawit. Itu dilakukan di atas lahan lindung gambut dengan kedalaman 4-12 meter. Di situ pula terjadi konflik perebutan lahan dengan warga. Maka terciptalah miniatur bencana kerusakan hutan di Indonesia.

Di suatu masa yang belum terlalu lama, Indonesia dijuluki zamrud khatulistiwa: hutan tropisnya kaya raya dan terbesar di dunia. Kini pun Indonesia tetap juara—tapi dari titik ekstrem yang berseberangan. April lalu, Guinness Book of World Records mencatat negeri kita sebagai—masya Allah—penghancur hutan tercepat di dunia.

Jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektare. Riau menyimpan hampir separuhnya. Sisanya tersebar di Aceh, Jambi, Kalimantan, dan Papua. Greenpeace menduga hampir separuhnya sudah rusak. Studi lembaga peneliti kehutanan internasional Center for International Forestry Research (Cifor) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja, Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara per tahun. ”Ini sama dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman,” kata Profesor Daniel Murdiyarso, ahli klimatologi Institut Pertanian Bogor.

Gambut adalah lapisan tanah bak spons yang menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar. Di dalamnya, zat organik terdekomposisi secara lambat, menjadi cikal bakal batu bara. Dalam kondisi normal, gambut tak mudah terbakar karena sifatnya berair. Tangan manusialah yang mengeringkan dan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…