Sebujur Sajak Di Peti Mati

Edisi: 45/36 / Tanggal : 2008-01-06 / Halaman : 54 / Rubrik : SN / Penulis : Suriaji, Yos Rizal , Suyono, Seno Joko, Taufik, Ahmad


Di batu nisan, Zen Hae meletakkan sebujur sajak. Ia tak menulis tentang kematian yang hening atau perkabungan yang murung. Ia justru bicara tentang berisik kota. Tentang aneka macam suara di jalan-jalan, di saluran-saluran radio dan televisi, di terminal, di rumah-rumah perempuan penggoda, di obrolan-obrolan kafe. Juga di rumah-rumah kita yang penuh sumpah serapah: Hai, anak jadah! Sampai berjumpa lagi di neraka! (sajak ”Taman Kanak-kanak”).

Ya, di peti mati, penyair 37 tahun itu membaringkan sepotong sajak. Dan arwah-arwah bergentayangan akan merawikannya begini: la haula wa la quwwata/ sajak si anjing gila (”Sebujur Sajak”).

Maut. Inilah tema yang menonjol dalam buku puisi Zen Hae, Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, Mei 2007). Imaji-imaji kota. Ini pula yang riuh muncul di sekujur sajaknya. Sebanyak 44 sajak yang dituangkan selama 15 tahun (1992–2006) pekat dengan idiom, imaji, dan ekspresi kekerasan. Khas kehidupan urban. Maut dan sensasi-sensasi kekerasan itu menyerbu pembaca puisinya tanpa henti.

Pembaca,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

A
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23

Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…

M
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25

Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…

R
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25

Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.