Nasaruddin Umar Persepsi Arab Bukan Persepsi Islam

Edisi: 46/36 / Tanggal : 2008-01-13 / Halaman : 42 / Rubrik : WAW / Penulis : Dewanto, Nugroho , Agustina, Widiarsi, Sunudyantoro


Dia figur dengan banyak wajah. Telah lama dia dikenal sebagai akademisi. Wawasannya luas, hasil menuntut ilmu dari barat sampai ke timur. Keahliannya tentang kesetaraan gender dalam Islam amat mumpuni dan diakui hingga ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia juga mendalami tasawuf dan rutin memberikan pengajian di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.

Satu setengah tahun terakhir, Nasaruddin Umar ”terseret” masuk jajaran birokrasi. Dia ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama. Ada kisah menarik di balik pengangkatan itu. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang langsung meminta Nasaruddin.

Mereka sudah lama berteman. ”Saya kenal Pak SBY sejak beliau masih berpangkat kolonel,” ujar Nasaruddin. Ketika itu mereka—bersama Kolonel Prabowo Subianto—kerap bekerja sama meggembleng alumni penerima beasiswa Supersemar yang akan ditugasi memberikan penyuluhan ke pelosok negeri.

Sejak itu hubungan tak pernah terputus. Dalam kesempatan melawat ke Amerika, SBY berjumpa kembali dengan teman lamanya yang sedang mengajar di Washington DC. ”Beliau meminta saya membantu membangun Indonesia,” kata Nasaruddin. Butuh waktu setahun baginya memikirkan tawaran itu sebelum akhirnya menerima.

Tugas sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam ternyata tak mudah. Ia mesti menghadapi maraknya aksi kekerasan terhadap kelompok agama yang dianggap menyempal. Namun Nasaruddin punya kiat menangani masalah ini. Ia tak segan turun ke lapangan ketika terjadi kegentingan, dan menggelar dialog.

Pada Rabu pekan lalu, pria kelahiran Ujung Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959 itu, menerima Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, dan Sunudyantoro dari Tempo. Ia menuturkan pandangannya tentang kekerasan terhadap kaum minoritas, kesetaraan gender, sampai tingginya tingkat perceraian di kalangan umat Islam. Berikut petikannya:

Belakangan ini sering terjadi masalah dalam relasi di kalangan internal umat Islam. Apa sebetulnya yang terjadi?

Ada pembengkakan kualitas umat. Dulu aspirasi umat Islam ditahan-tahan terus karena faktor politik. Begitu ada kebebasan, mereka mengekspresikan dirinya sehingga terlihat banyak persoalan. Misalnya saja aliran sesat yang disebut Majelis Ulama Indonesia bertambah, menurut saya kok tidak. Ahmadiyah, misalnya, sudah lama ada. Al-Qiyadah juga sejak 10 tahun lampau.

Dalam soal itu, kenapa pemerintah tak meminta masyarakat menyikapinya sebagai perbedaan pendapat saja?

Sementara ini kami mengatakan, perbedaan itu jangan sampai menjadi anarkistis. Jika sudah anarkistis, hukum yang berbicara. Tugas kami adalah memelihara muslim di Indonesia agar tidak menyempal. Juga, bagaimana para penyempal itu bisa kembali dan tidak dihakimi. Jika…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…