Otto Soemarwoto: Pemikir & Pendekar Lingkungan

Edisi: 47/36 / Tanggal : 2008-01-20 / Halaman : 36 / Rubrik : MEM / Penulis : Agustina, Widiarsi, Srihartini, Rinny ,


Sejak 1960-an, dia sudah berteriak dalam soal kritisnya kawasan Bogor, Puncak, Cipanas, dan Cianjur. Pepohonan di bukit dan lembah yang berubah menjadi vila mewah akan mendatangkan petaka bagi Jakarta. Pada 1970-an, ia juga telah mewanti-wanti bahaya green gold rush—pembalakan hutan secara besar-besaran. Banjir dan tanah longsor mengintai di musim hujan. Sebaliknya mata air bakal mengering di musim kemarau.

Dia seorang ahli lingkungan hidup yang tak kenal kompromi. Sikap tegas tak jarang membuatnya berbenturan dengan kekuasaan. Namun itu tak menghalanginya berbagi pengetahuan dengan pejabat pemerintah yang membutuhkan. Emil Salim, tatkala ditunjuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup, mengakui Otto Soemarwoto adalah salah satu guru tempat ia menimba ilmu.

Kepada Widiarsi Agustina dan Rinny Srihartini, Otto menuturkan ikhtiarnya selama puluhan tahun mendesakkan lingkungan hidup sebagai prinsip dasar pembangunan negeri ini.

Sepotong hari pada awal Desember 2007. Saya diundang mengajar siswa kelas dua SMA di kawasan Bandung. Kegiatan ini menjadi pengisi waktu luang sejak saya pensiun sebagai guru besar emeritus Universitas Padjadjaran pada 1999. Saya senang menjalaninya, semata agar anak-anak Indonesia di masa depan lebih peduli pada lingkungan. Apalagi hari-hari ini seluruh dunia disibukkan dengan petaka akibat perubahan iklim dan kerusakan ekologi.

Siang itu suasana hati saya campur aduk. Saya senang karena banyak guru sekolah kini kreatif memberikan materi pelajaran lingkungan bagi muridnya. Tapi juga sedih lantaran anak-anak muda yang saya temui seakan tak peduli terhadap kerusakan lingkungan. Padahal akibatnya sudah terlihat nyata berupa bencana di sekitar kita.

Pada awal tahun ini saja, banjir dan tanah longsor terjadi di mana-mana. Bandung tak luput. Hujan deras sebentar saja membuat kawasan Cimandiri, Junjungan, Pasteur tergenang. Padahal beberapa tahun lampau kawasan ini dikenal sebagai daerah resapan. Bila hujan turun merata di Bogor, Puncak, dan Cianjur, sudah pasti rumah sebagian warga Jakarta terendam.

Telah lama saya menduga bencana alam itu bakal terjadi. Tanda-tanda kerusakan telah muncul sejak saya masuk kawasan Bogor pada era 1960. Saat itu Puncak sudah mulai macet dan disesaki vila. Hutan di sepanjang jalan berganti warung dan gedung. Lalu lintas juga sudah padat. Pencemaran menjadi-jadi. Penduduk banyak kehilangan lahannya.

Sebagai Direktur Kebun Raya Bogor, saat itu saya sudah memperhitungkan kerusakan lanskap kawasan tersebut, juga pengaruhnya bagi Ibu Kota Jakarta. Apa lagi pada 1970-an, gejala kemacetan di kawasan itu semakin terasa. Saya sering menentang kebijakan pembangunan di sana secara keras, dengan melontarkan kritik melalui media.

Waktu itu pemerintah bukannya segera menata kembali kawasan itu, melainkan melakukan kebijakan insidental. Misalnya melarang truk melewati Puncak, tapi mobil pribadi dibiarkan bebas. Padahal kerusakan justru muncul ketika mobil pribadi berbelok ke mana saja, dan membuat banyak orang kian berminat membeli lahan di Puncak.

Salah satu pejabat yang saya kritik adalah Gubernur DKI Jakarta Ali…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…