Cendana, Setelah Keputusan Itu...

Edisi: 50/36 / Tanggal : 2008-02-10 / Halaman : 38 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Idrus F. Shahab, Wenseslaus Manggut, Budi Setyarso


Kamis, 21 Mei 1998. Raungan sirene itu menghentikan kegiatan belasan orang yang sejak siang berkumpul di ruang keluarga rumah Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa mobil masuk ke halaman dan seperti diberi aba-aba, para penghuni rumah serentak berdiri. Dari mobil Mercedes Benz hitam itu keluar Soeharto, tokoh yang dinanti-nanti. Bersafari lengan pendek biru gelap, wajah jenderal besar itu muram dan pucat. Ia berjalan diiringi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, dan mantan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid,

Sampai di ruang tamu, ia mengangkat kedua tangan. ”Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun,” katanya. Ruangan senyap. Sesekali terdengar isak tangis dua putri Soeharto, Siti Hedijati (Titiek) dan Siti Hutami Adiningsih (Mamiek).

Satu per satu, anak, menantu, cucu dan kerabat lainnya menyalami, memeluk dan mencium tangan Soeharto. Di belakang menyusul teman keluarga, ajudan, pengawal, sopir, dan pembantu. Hari itu rumah dibekap kesedihan. ”Sulit melupakan peristiwa itu. Itulah saat pertama Bapak pulang sebagai warga negara biasa,” kata Tutut mengenang. Sejak Kamis pagi 21 Mei 1998, Soeharto bukan lagi presiden. Di Credentials Room, Istana Merdeka, ia menyampaikan pidato pengunduran diri setelah 32 tahun berkuasa. Pidatonya ringkas, disiarkan secara nasional dan mendapat perhatian seluruh dunia.

Soeharto terlihat rileks. ”Ini adalah sejarah. Saya memutuskan mundur supaya tak jatuh korban lagi,” kata Soeharto membuka percakapan. Menurut dia, jika ia tetap berkukuh, situasinya kian keruh dan akan jatuh korban. ”Jelek-jelek, saya dulu naik karena didukung mahasiswa,” katanya. ”Sekarang sudah jatuh korban mahasiswa. Saya nggak mau ada korban lagi.”

l l l

GELOMBANG demonstrasi mahasiswa berujung tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. Jakarta menyala. Kerusuhan, pembakaran, penjarahan. Orang-orang mengheningkan cipta. Ibu Pertiwi hamil tua.

Soeharto bagai duduk di atas bara: ia mempersingkat kunjungannya ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Dari jauh ia menerima kabar: aparat tak berhasil meredam kerusuhan. Tutut mengurungkan kepergiannya ke Boston, Amerika Serikat, menghadiri wisuda putrinya. Ia memantau keadaan. ”Bapak terus menerima laporan dari berbagai pihak,” kata Tutut. Satu jam setelah mendarat di Jakarta, Jumat 15 Mei 1998, Soeharto disambut cerita putra-putri dan adik tirinya, Probosutedjo, tentang Jakarta yang remuk redam. Laporan komplet dari Wakil Presiden B.J. Habibie, para menteri bidang polkam, Panglima ABRI, Kejaksaan Agung, dan Kabakin diterima Soeharto beberapa jam kemudian. Ketika itu dengan tegas Soeharto membantah kalau dia akan mundur.

Sejak hari itu, penjagaan di Cendana diperketat. Di luar, berbagai kelompok masyarakat termasuk pimpinan MPR/DPR mendesak Soeharto hengkang dari kursi kepresidenan. Sejumlah tokoh seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, Malik Fadjar menggodok konsep reformasi. Tekanan politik tak bisa dielakkan ketika mahasiswa menguasai gedung MPR/DPR seraya mendesak pimpinan lembaga itu menggelar Sidang Istimewa.

l l l

KELUARGA Soeharto sesungguhnya tak tinggal diam. Menantu Soeharto yang juga Pangkostrad, Prabowo…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…