Takdir Tak Kunjung Padam

Edisi: 01/37 / Tanggal : 2008-03-02 / Halaman : 63 / Rubrik : LAY / Penulis : Suyono, Seno Joko, Septian, Anton,


Mungkin ia seorang manusia renaisans terakhir. Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang pemikir yang penuh kontroversi. Dia salah satu perawat bahasa Indonesia yang konsisten, tekun, dan sesekali keras kepala pada pendapatnya. Di dunia filsafat, Takdir memandang renaisans dengan sikap romantis dan sentimentil sehingga sulit menerima perkembangan artistik seni modern yang tidak konvensional. Pandangannya yang memuja kemajuan Barat adalah salah satu sikap yang dipegangnya. Ketika dia sudah pergi begitu lama, nama dan pemikirannya tak kunjung padam dibicarakan. Tempo menggali dan mendiskusikan seluruh pemikiran berikut kontroversi tokoh yang kita banggakan ini.

”Saya menganggap diri saya salah seorang dari manusia modern, tapi saya khawatir melihat kekacauan masyarakat modern di zaman kita dan hendak memberikan sisa hidup saya untuk perjuangan, untuk pengarahannya....”

Hujan deras di Tugu, Puncak, siang itu. Sebuah vila mungil dengan kebun yang luas. Di situlah dulu Sutan Takdir gemar berdiskusi. Di situ pula tempat tersimpannya ribuan buku miliknya. Di sana pula dia dimakamkan di samping kuburan anaknya Samiati dan istrinya Margret Axer.

Takdir lahir di Natal, Tapanuli, dan meninggalkan dunia ini pada Juli 1994 pada usia 86 tahun. Pada 12 Februari lalu—tepat 100 tahun kelahirannya—anak, cucu, dan cicitnya menabur bunga di pusaranya.

Kita pun mengenang, hingga menjelang akhir hayatnya Takdir memang tak kunjung letih berpolemik. Ia adalah sosok yang selalu menekankan kegembiraan menghadapi masa depan. Impiannya sedari muda adalah mengarahkan agar Indonesia secara total memeluk modernitas.

Takdir menghabiskan masa sekolah dasar di Hollandsch Inlandsche School, Bengkulu, kemudian sekolah menengah tingkat pertama di Kweekschool, Bukit Tinggi. Saat ia berusia 14 tahun, Takdir sudah menjadi anggota Jong Sumatra. Takdir ke Bandung melanjutkan sekolah menengah atas di Hogere Kweekschool. Ia lulus pada 1928, tahun ketika Sumpah Pemuda bergema di Jakarta. Dalam sebuah wawancara Takdir mengaku, saat umur 20 tahun itu, terpukau dengan gagasan Sumpah Pemuda, terutama perihal kesatuan bahasa.

Ketika menjadi guru di Palembang, bisa dimaklumi mengapa ia tak jenjam. Apalagi novelnya Tak Putus Dirundung Malang yang diterbitkan Balai Pustaka mengecewakan dirinya, karena banyak disunting oleh Noer Sutan Iskandar.”Bahasa saya dibuatnya bahasa Melayu biasa. Bahasa Melayu saya seperti anak air di pegunungan yang begitu lancar, tiba-tiba menjadi bahasa rawa, yang tidak bergerak.”

Pada tahun 1930, Takdir diterima sebagai pegawai Balai Pustaka. Perhatiannya terhadap bahasa Indonesia semakin tumbuh, ketika ia menerjemahkan serangkaian-pidato di Volksraad. Novel Dian Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang muncul saat ia bekerja di situ. Takdir semakin sadar bahwa syarat dasar bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah tata bahasa Indonesia modern. Diperlukan sebuah pedoman berbahasa, yang menyatukan semua orang,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16

Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…

P
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28

Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…

Y
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28

Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…