Tariq Ali: Kebebasan Berekspresi Di Eropa Adalah Debat Palsu

Edisi: 11/37 / Tanggal : 2008-05-11 / Halaman : 117 / Rubrik : WAW / Penulis : Kusrini, Asmayani, ,


Jarum jam sore itu menunjuk ke angka lima. Ratusan orang sudah berkumpul di aula utama Zuiderpershuis di Antwerpen, Belgia. Mereka para profesor dari berbagai universitas di Belgia, mahasiswa, aktivis, penulis, hingga pengamat politik. Suasana tenang, nyaris senyap. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik. Dua orang di antara kerumunan tamu dipersilakan keluar dari ruangan.

Sebelum acara dimulai, ketua panitia menjelaskan soal ”pengusiran” tamu tersebut. ”Maaf atas kejadian tersebut. Mereka adalah penyusup dari ultrakanan yang mengaku wartawan. Kami tidak ingin acara yang tenang ini disusupi provokator.”

Insiden kecil semacam itu tak terelakkan dalam beberapa acara yang menghadirkan Tariq Ali, seorang penulis dan aktivis kiri legendaris. Pada 1960-an ia sudah menjadi penentang Perang Vietnam. Sampai kini dia masih menjadi editor jurnal berpengaruh di New Left Review.

Senin tiga pekan lalu itu, Tariq menjadi penceramah dengan tema ”Islam in Europe”. Bercelana jins biru, dengan kemeja hijau tua, sweater hitam yang agak kusam, dan jas cokelat kekuningan, dia naik ke podium. Pria yang rambut dan kumisnya mengingatkan orang pada Albert Einstein ini berpidato dengan suara yang tenang dan tegas, kadang meninggi. Ia tahu betul bagaimana menuturkan cerita. Ketika ceramahnya berakhir, tepuk tangan panjang bergema.

Pria kelahiran Lahore, Pakistan, itu sosok yang unik. Dibesarkan dalam tradisi komunis, tapi kemudian menjadi pengusung paham sosial demokrat. Dia seorang yang menguasai Al-Quran, tapi terang-terangan menyatakan diri ateis. Analisisnya tentang imperialisme selalu tajam, nyaris sinis. Setelah menutup ceramahnya, Tariq Ali menyediakan waktu untuk berbincang dengan Asmayani Kusrini dari Tempo tentang kebebasan berekspresi dan Islam di Eropa. Berikut ini petikannya.

Eropa sekarang sedang giat-giatnya melakukan program dialog antarbudaya. Menurut Anda, apakah ini jawaban atas masalah konflik budaya yang belakangan kerap terjadi?

Apa pun yang bisa meningkatkan pengertian antarbudaya adalah kegiatan yang baik, tidak ada masalah. Tapi itu hanya terjadi di level-level tertentu. Masalahnya, dengan program dialog antarbudaya, pada akhirnya apa yang ingin dicapai? Saya tidak bilang bahwa program ini harus dihentikan, tapi pikirkanlah hal yang lebih relevan.

Ke mana gerakan anti-Islam atas nama kebebasan berekspresi di Eropa akan menuju?

Sebelum mendiskusikan akan menuju ke mana,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…