Prof Dr Ir Sajogyo Seorang Empu Pemerhati Desa

Edisi: 19/37 / Tanggal : 2008-07-06 / Halaman : 59 / Rubrik : MEM / Penulis : Gandhi, Grace S., Widiastuti, Rina,


Dalam berbagai kesempatan, putra Jawa kelahiran Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah ini selalu menyuarakan kemiskinan dan masyarakat desa. Pada Mei lalu, usianya sudah menapak 82 tahun, tapi ia tetap mengikuti perkembangan situasi pedesaan dengan seksama. Salah satunya, program bantuan langsung tunai kepada masyarakat miskin di desa, yang dinilainya cuma kebijakan tambal-sulam.

Sajogyo merupakan empu ekonomi dan sosiologi pedesaan yang mumpuni. Ia dedikasikan seluruh hidupnya untuk meneliti, menulis buku, dan mengajar perihal masyarakat desa. Rumahnya di Bogor menjadi tempat singgah para mahasiswa yang ingin berdiskusi dan berkonsultasi dengannya tentang masalah pedesaan. Di rumah itu pula terkumpul 6.000 buku miliknya yang telah diwariskan ke Sajogyo Institute.

Dalam tiga kali pertemuan, Sajogyo menuturkan kecintaannya terhadap masyarakat desa kepada Grace S. Gandhi dan Rina Widiastuti dari Tempo. Tutur kata yang lemah lembut dan pikirannya yang jernih menandakan kecendekiawanan yang paripurna.

Saya lahir dari keluarga guru. Ayah dan Ibu, Soewardjo Poerwoatmodjo dan Chamidah, lulusan sekolah guru di Ungaran, Jawa Tengah. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta di sana. Setelah lulus, Ayah memulai karier sebagai guru sekolah dasar. Adapun setelah menikah, Ibu hanya menjadi ibu rumah tangga. Tapi dia menjadi guru kami, enam orang anak-anaknya, di rumah.

Orang tua memberi saya nama yang cukup panjang: Sri Kusumo Kampto Utomo. Penulisan Kampto terpengaruh bahasa Belanda, dalam bahasa Jawa seharusnya tidak pakai ”p”. Nama itu merupakan harapan orang tua agar saya ”berjuang di jalan keutamaan”. Namun, beberapa bulan setelah lahir di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, pada 21 Mei 1926, saya terus-menerus menderita sakit. Menurut tradisi, akhirnya nama yang panjang itu dipotong menjadi Kampto Utomo saja.

Setelah berusia di atas 40 tahun, mengikuti adat Jawa, saya mengganti nama menjadi Sajogyo. Mengapa Sajogyo? Nama yang saya gunakan sejak 1968 itu berarti ”memang seharusnya begitu”. Jadi artinya kurang lebih sama dengan Kampto Utomo: ”memang seharusnya begitu, tetap berada di jalur keutamaan”. Mungkin karena nama itu, sampai hari ini saya tetap setia dan konsisten memperhatikan masyarakat kecil.

Setelah lulus sekolah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…