Sebuah Menara Dalam Kepungan Di

Edisi: 29/14 / Tanggal : 1984-09-15 / Halaman : 29 / Rubrik : SEL / Penulis :


JAUH dari hiruk-pikuk kota dan lepas dari kawasan debu daerah industri, di tengah lingkungan hijau pedalaman, Desa Cipari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, bagai sebuah oasis. Di sana menyembul tipis Pesantren Darussalam - pada lingkaran perumaharl penduduk yang sekitar 500 umpi (kepala keluara). Di kompleks pesantren yang sekitar satu hektar itu tampak asrama santri yang dihuni sekitar 30 orang, gedung madrasah aliyah, dan bangunan masjid yang berukuran sekitar 30 x 70 meter.

Namun sebuah pemandangan segera mengganggu. Menara masjid, yang bergaris tengah satu meter dan tinggi 20 meter itu, tampak bagai sosok tua. Bahkan agak mengerikan: tubuh menara yang kelihatan betul tak kenal pemugaran itu penuh bekas hunjaman peluru. Sebuah serangan yang dahsyat mestinya telah terjadi - dan seolah baru kemarin sore.

Memang, itu sebuah kenangan. "Biar jadi saksi sejarah perjuangan Pesantren Darussalam," ujar Cholid Tauzirie, 43, pemimpin Pesantren dan anak kelima dari delapan anak K.H. Yusuf Tauzirie. Yang terakhir itu adalah pendiri terpenting Pesantren dan tokoh kunci dalam kisah riwayat ini.

Kisahnya memang bermain di sekitar pesantren itu. Di situlah, 17 April 1952, hampir seluruh penduduk Desa Cipari terkurung oleh ribuan pasukan Darul Islam. Pengurungan berjalan dari sehabis isya, sekitar pukul 20.00, sampai pukul 3.00 menjelang subuh. Orang-orang desa ini bertahan dengan senjata seadanya - dan sukses. K.H. Yusuf Tauzirie, yang sejak dahulu dikenal sebagai ulama besar di Jawa Barat, pernah menjadi teman perjuangan Kartosuwirjo sendiri. Bahkan juga dianggap sebagai guru spiritual pimpinan puncak Darul Islam itu. Toh cita-cita rupanya tidak sama: mereka berselisih, lalu berpisah.

Dan sejak perselisihan itu Cipari menjadi kawasan panas. DI menjadikannya salah satu target mereka, sementara di sisi lain K.H. Yusuf Tauzirie mempersiapkan pertahanan. Dengan menghimpunkan senjata - yang antara lain didapatnya dari Mayof Umar Wirahadikusumah (kini jenderal, dan wakil presiden), yang waktu itu komandan Sektor Priangan Timur, Kiai Yusuf senantiasa bisa mematahkan serangan Kartosuwirjo.

Seperti juga Kartosuwirjo, K.H. Yusuf sendiri sudah terlibat pergerakan kemerdekaan melawan Belanda sejak awal kebangkitan umat Islam di masa mutakhir. Ia pernah menjadi aktivis Sarekat Islam. Juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Divisi Siliwangi. Pesantrennya di Cipari, yang sudah ada sejak 1926, sering menjadi tempat pertemuan para tokoh perjuangan kemerdekaan: Pengarang Abdul Muis, Haji Agus Salim, dan H.O.S. Tjokroaminoto sendiri, antara lain.

Kawasan Kiai Yusuf meliputi pula ibu kota kecamatan, Wanaraja, yang terletak sekitar tiga kilometer di timur laut Desa Cipari. Sebagian hidup kiai itu dihabiskan di kota ini; bahkan ia pernah memindahkan pusat pesantrennya ke sini, khususnya setelah serangan DI pada 1952 itu.

Dan sampai kini jantung pesantrennya sendiri tetap di Wanaraja. Di sini terdapat Pusat Yayasan Darussalam, dan bangunan di pusat pesantren ini pun sedikit lebih megah dari yang di Cipari. Masjid menyatu dengan sebuah aula serba guna seluas 20 x 30 meter, dan hampir bersambung dengan bangunan madrasah tsanawiyah dan sebuah sekolah lanjutan atas. Bangunan ini berlantai dua dan memiliki 14 lokal. Di kompleks ini terdapat 600 siswa tsanawiyah, 300 siswa SLA, 30 santri, serta 29 staf pengajar dan petugas administrasi. "Untuk menggaji guru-guru saja, setiap bulan anggarannya hampir Rp 2 juta," ujar Cholid Tauzirie.

Masih ada pula pengajian untuk masyarakat luar, tiap malam, juga kursus mubalig, di samping Majelis Ta'lim tiap Kamis dengan peserta rata-rata 4.000 orang. Dan, sebulan sekali, diselenggarakan tausiah mubahasah atau forum diskusi untuk para ulama. Ini rata-rata diikuti 300 sampai 400 orang.

Tapi puncak keramaian terlihat pada perayaan Maulid Nabi - kebetulan bertepatan dengan hari wafat K.H. Yusuf Tauzirie, 3 Maulid 1402 atau 29 Desember 1981. Ini semacam tablig akbar yang diikuti puluhan ribu jemaah dari berbagai daerah Jawa Barat. Bila upacara berlangsung, Wanaraja yang terletak sekitar empat kilometer dari Kota Garut itu berubah menjadi lautan manusia.

Ciri ajaran Kiai Yusuf yang masih diikuti antara lain sikap mandiri - yang kalau perlu dipertahankan walaupun orang mengajak berselisih, seperti terlihat di masa hidupnya. Dan sampai kini, "Semua kegiatan Darussalam swadaya murni; tak ada sedikit pun bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah," ujar Cholid, yang menjadi penerus.

Zaman rupanya sudah menjadi saksi keteguhan sikap itu. Banyak sekali kiai yang menentang DI, tapi mungkin hanya Yusuf Tauzirie satu-satunya yang menentang dengan sangat keras dan dengan penuh risiko. Tak heran bila Hiroko Horikoshi, peneliti dari Jepang, dalam disertasinya di Universitas Cornell yang berjudul Gerakan Darul Islam di Jawa Barat (1948-1962): Pengalaman dalam Proses Sejarah, meletakkan kisah Kiai Yusuf di bagian yang penting. Berikut ini singkatan disertasi itu.

* * *

Antara 1949 dan 1958, Desa Cipari mengalami tak kurang dari 46 kali serangan DI - dan yang 17 menimbulkan kerusakan besar. Di desa ini pula Kiai Yusuf lahir, meski dalam kegiatan politik dan keagamaan di kemudian hari ia cukup lama tinggal di Wanaraja. Ia kembali ke Cipari dari Wanaraja pada 1946, setelah kota itu dibumihanguskan oleh sebuah sempalan gerombolan kiri yang menamakan dirinya Pasukan Pangeran Papak.

Sejak DI/TII melancarkan terornya di Jawa Barat, Desa Cipari menjadi salah satu tempat berlindung penduduk desa-desa sekitar. Di Cipari pada 1933 Kiai Yusuf membangun sebuah masjid dan madrasah, dan sudah jadi kebiasaan penduduk desa sekitar mengungsi ke masjid dan madrasah itu sehabis lohor. Mereka membawa perlengkapan sekadarnya dan memasak makanan di halaman masjid. Terus menginap, dan baru kembali ke desa masing-masing esok harinya.

Setelah pengakuan kedaulatan, Divisi Siliwangi menempatkan satu kompi pasukan di sana untuk menghadapi gangguan DI/TII. Dengan semakin meningkatnya keganasan gerombolan di daerah sekitarnya, semakin banyak pula penduduk - sampai ribuan orang - mengungsi ke Cipari.

Di Cipari, yang pertama-tama mengetahui kedatangan gerombolan DI/TII adalah seorang kiai, sepupu Kiai Yusuf dari pihak ibu. Rumahnya kebetulan terletak di tepi jalan ke arah desa, dan di malam hari mereka sekeluarga biasa pula mengungsi ke Cipari.

Kepada Hiroko inilah sang kiai, dan berbagai tokoh lain, mengisahkan pengalaman mereka.

* * *

"Pada hari itu saya menghadiri rapat di Cimahi, dan baru sore hari kembali ke rumah," tutur Kiai. "Saya sedang berganti pakaian ketika istri saya membisikkan, ada patroli di luar rumah. Segera saja saya menyadari bahwa itu bukan patroli biasa - dari pos polisi kecamatan - melainkan sepasukan DI/TII yang sedang bergerak ke arah desa. Saya tarik badan istri saya, dan kami bersembunyi di balik tirai sambil mengintip. Tidak biasanya TII datang ke desa sesore itu, dan dari arah selatan pula. Biasanya mereka muncul dari gunung-gunung sebelah utara. Hari itu saya terlambat pergi ke madrasah, tapi hal itu pulalah yang menyelamatkan jiwa kami."

Di Cipari suasananya berbeda. Adik perempuan Kiai Yusuf, Hajah E. Kuraesin, berkisah, "Kami mendengar berita pasukan DI/TII sudah mendekati Cipari menjelang isya, sekitar pukul setengah tujuh malam. Sejak magrib, sebagian besar penduduk yang mengungsi ke Cipari sudah masuk ke gedung madrasah. Tapi karena rumah kami berdekatan dengan madrasah, kami masih berada di rumah. Kakak perempuan saya, yang selalu kebingungan jika ada hal-hal yang tak lazim, mulai berteriak-teriak, "DI sudah datang!" la melompat ke sana kemari.

Mula-mula saya tak percaya, karena masih terlalu sore. Tapi ketika saya lihat rumah di seberang rumah kami mulai dimakan api, kemudian mendengar hinyi kentongiln dipukul, keraguan saya lenyap. Ibu saya, yang berusia delapan puluh tahun, meloncat lewat jendela bersama dua cucunya. Melalui pekarangan rumah mereka berlari ke madrasah. Saya membantu kakak saya yang ketakutan, dan kami selamat juga sampai di madrasah.

Di sanalah saya mengetahui: abang ipar saya sudah ditembak mati DI/TII; mayatnya dilemparkan ke salah satu rumah yang terbakar. Saya harus menenteramkam anak-anaknya yang dilanda ketakutan. Abang ipar saya itu ternyata terlambat pulang dari pengajian di desa berdekatan. Ketika ia lari ke luar rumah, setelah mendengar bunyi kentongan, saat itulah peluru TII menghabisi nyawanya. Empat penduduk lain mati dengan cara yang sama, termasuk seorang anak laki-laki sepupu saya."

"Waktu itu abang saya, Kiai Yusuf, sudah bertada di puncak masjid. Adanya menara ini rupanya memang sudah takdir Tuhan. Karena, saya ingat benar, ketika abang saya mendirikan kompleks masjid-madrasah itu kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya, dalam rencana yang dibuat tidak ada gambar menara itu. Tapi karena satu dan lain hal abang saya berkeras menambahkannya - diletakkan di antara masjid dan madrasah. Berkat Allah jugalah - karena ternyata ribuan orang telah diselamatkan dari maut dalam peristiwa itu."

Kesulitan pertama dirasakan oleh mereka yang bertahan dan panik itu: persenjataan sama sekali tak cukup. Yang ada hanya tujuh pucuk senapan, di samping pistol Kiai yang buatan Kanada. Lima karaben Jepang di antaranya - peninggalan pasukan Siliwangi - dan dua senapan dorlok buatan dalam negeri ternyata kurang ampuh. "Yang banyak pada kami, granat," tutur Hajah Kuraesin. Pada saat menegangkan, dalam ancaman maut, si adik ini justru ingat seorang keponakannya, laki-laki. Pemuda itu bekas prajurit Peta yang aktif di Siliwangi, tapi ketika itu sedang bertugas ke Jakarta. "Saya benar-benar kehilangan dia."

Tapi para pengawal pribadi Kiai Yusuf menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Mereka juga cekatan, dan sikap inilah yang menenteramkan penduduk. Mereka itu para pengungsi dari Desa Sindangheula; lemah lembut sikapnya, rendah hati, dan lugu.

* * *

Tembak-menembak pada 17 April 1952 itu berlangsung sampai pukul tiga pagi. Sekitar 3.000 anggota TII melakukan tiga kali serangan. Dan Kiai Yusu berdiri di puncak menara, melemparkan granat kepada TII yang sedang maju di bawah. Dalam nyala api rumah yang terbakar, bayangan tubuhnya tampak dari jauh bagai wayang kulit bergerak-gerak di layar. Semua jendela madrasah pecah kena peluru, dan banyak pengungsi dalam madrasah terluka kena pecahan kaca. Seorang anggota pengawal Kiai, Bohim namanya, berdarah di dahi tapi terus menembak.

"Saya berkeliling bangunan itu, membantu merawat yang luka-luka. Seorang wanita, pengungsi dari Sindangheula, tertembak ketika sedang berjalan menuju madrasah. Peluru yang menembus badannya melukai pula bayi yang sedang digendongnya. Ibu dan anak meninggal ketika itu juga," tutur Kuraesin.

Karena terus-terusan dipakai, dua senapan di pihak Cipari kepanasan dan rusak. Jadi tinggal…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…