Kisah Rakyat Yang Gagal
Edisi: 35/14 / Tanggal : 1984-10-27 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :
INILAH kisah kehidupan yang fakir di Sukapakir. Ini sebuah "dusun" di Kota Madya Bandung, di bagian selatan, yang hanya bisa Anda kunjungi dengan jalan kaki. Karena gang yang harus dilalui tidak mampu menampung mobil, kendaraan harus ditinggalkan di Jalan Pagarsih, kemudiar. Anda berjalan terus, terus ke selatan. masuk lorong gang sempit. Di mulut gang, gerobak, motor dan pejalan kaki terkadang harus antre, lalu bergiliran dari arah yang saling berlawanan meniti jalan yang dipersempit oleh sebuah selokan di sebelah sisi. Muatan selokan itu: air comberan hitam pekat, sampah, dan kotoran dari WC.
Sepanjang gang anak-anak asyik bermain, sementara para ibu mereka sibuk bekerja, berjualan makanan ringan, mencuci baju dan perabotan rumah tangga, keramas, menyikat gigi, atau mengangkut air dari MCK (mandi, cuci, kakus). Karena satu-satunya tempat yang agak lowong hanya gang itu, hampir semua kesibukan berlangsung di kawasan ini. Inilah "nadi" daerah yang dinamakan Sukapakir.
Jangan berharap dapat melihat kehijauan di antara rumah yang berdempet-dempet hampir tanpa halaman. Tak perlu heran, karena kawasan ini, menurut sensus penduduk 1980, adalah salah satu kelurahan yang sangat padat. Penghuninya tukang-tukang bakso, tukang bubur, pengupas bawang, pedagang kaki lima, tukang becak, pengemis, pelacur, dukun .... Cerita tentang mereka adalah kisah orang-orang keciI yang senantiasa berikhtiar, tapi terus-menerus gagal.
* * *
Lepas subuh, Ibu Samsu sudah ada di Pasar Ciroyom. Pekerjaan rutin - belanja untuk warungnya. Di belakangnya mengekor si Nanang menggusur gerobak, tempat ibunya menampung belanjaan Ibu Samsu berdecap ngiler melihat sayuran segar. Tapi uang di balik kutangnya tak cukup lagi. Akhirnya, ia hanya melengkapi belanjaan dengan sambeleun-cabe, bawang, serta tomat. Dan ketika uangnya tinggal Rp 100 dihentikannya acara langak-longoknya. Sisa uang itu ia siapkan untuk ngaburuhan - upah si Nanang, satu-satunya anak Bu Samsu yang masih mau menerima upah cepek.
Hari ini Ibu Samsu tidak dapat menambah jualannya. Dalam beberapa bulan ini warung Bu Samsu memang tampak ngos-ngosan. Ia tak habis pikir mengapa ini bisa terjadi. Padahal setiap hari ada saja yang laku. Heran!
Ada yang berkata bahwa Bu Samsu orangnya kelewat baik. Setiap orang boleh ngebon. Jumlah utang kadang ia catat, tapi lebih sering tidak semata-mata tergantung pada kesadaran yang berutang. Malahan kalau pengemis yang belanja, ia terkadang memberikan. Ia merasa, alhamdulillah masih diberi rezeki berlebih jika dibandingkan dengan nasib para peminta-minta.
Ibu Samsu yakin, ada sebab lain yang "mengganggu" usahanya - suatu gangguan aneh yang tidak dapat diidentifikasikan dengan tata buku. Di Jawa Barat, menurut kepercayaan orang, ada kencit atau tuyul, makhluk halus yang suka mencopet. Tentu saja piaraan orang yang ingin kaya tanpa kerja. Beberapa pedagang di daerah ini berjaga-jaga dengan isim, kemenyan, atau jimat, agar kencit tidak menyelonong ke laci mereka. Mang Ikin, misalnya, pedagang bubur keliling, mengaku bahwa hasil dagangannya baru dirasakan lumayan setelah ia membeli jimat anti-kencit dari seorang dukun.
Tetapi Bu Samsu hampir tidak percaya sumber gangguan warungnya adalah kencit. Kalau begitu, apa? Ia pernah berusaha mencari jawabannya sendiri, misalnya dengan jalan bertapa di suatu gunung di Kabupaten Bandung. Dalam implengan-nya ia "melihat" adanya tiga orang yang menyiramkan air di depan warungnya - itu pasti orang-orang yang iri. Kendati begitu, ia diamkan saja. Tidak membalas. Ia hanya sering tahajud - sembahyang malam mohon perlindungan Tuhan.
Tapi Pak Samsu tak sesabar Ibu. Suatu hari Bapak dudukun, berkonsultasi pada seorang "pintar". Orang pintar itu - yang kerap menolong keluarga ini dengan hasil yang "amat meyakinkan" - setuju pada penglihatan Ibu Samsu, dan memberikan penangkal. Keluarga Bu Samsu kemudian membuat selamatan kecil, "buang sial" namanya. Dan betul, kata Bu Samsu beberapa minggu kemudian, jualannya jadi haneuteun, laris. Sayang, hal itu tak berlangsung lama - Ibu Samsu kembali mengeluh, warung rugi terus, uang lagi-lagi kurang. Untuk menambah modal, ia mulai pinjam dari bank keliling alias rentenir.
Jika saja ia sadar apa yang menyebabkan warungnya merosot, tentu saja ia tidak akan susah-susah pergi ke gunung segala. Sebab, sebenarnya ia juga tahu bahwa kalau ia pergi ke pengajian dan warungnya ditunggui anak gadisnya, pasti akan ada uang yang menguap dari lacinya. Belum lagi tiga anak laki-lakinya yang sudah doyan merokok - bolak-balik masuk warung meminta rokok. Kebutuhan dapur sehari-hari juga mengambil dari warung. Semuanya tanpa perhitungan sama sekali.
Memang, seharusnya warung itu merupakan tambahan pendapatan keluarga. Suaminya menerima pensiun, dan di samping itu mendapat honorarium sebagai pegawai tidak tetap. Namun pendapatan bulanan ini kadang-kadang sudah ludes pada minggu kedua atau ketiga. Keluarga ini keluarga besar, dan tujuh dari delapan anak masih sekolah. Yang sulung tamat STM, menganggur. Tiga lainnya di SMA, sisanya SMP dan SD. Setiap tiba masa testing atau ujian, keluarga ini mengeluh berat. Pengeluaran biaya itu jauh lebih besar dari penghasilan. Dan untuk itu mereka pinjam lagi kepada saudara, atau rentenir.
Ketika anak sulungnya lulus STM, Ibu Samsu sangat bersukacita. Tapi tidak berlangsung lama: anak harapannya itu tak bisa berbuat banyak. Sebab ijazah, satu-satunya modal untuk mencari kerja, masih ditahan sekolah. Alasannya: tunggakan uang sekolah tujuh bulan dan uang ujian yang di-tilep si anak sendiri. Ibu Samsu amat terpukul. Kerja kasar mana mungkin - anaknya sendiri tidak sudi mencari pekerjaan yang tidak sepadan. Masa anak sekolah jadi tukang becak?
Dua anak laki-lakinya harus segera disunat. Hajat direncanakan sejak enam bulan sebelumnya. Rumah dipermak, dan banyak tamu yang datang. Ada harapan sumbangan para tamu akan cukup mengganti biaya perhelatan. Sialnya, banyak tamu membawa amplop yang cuma berisi 100-200 rupiah. Padahal biaya hajat, selain dari uang tabungan, pinjam dari rentenir plus uang warung.
Namun riwayat warung Bu Samsu belum selesai di situ. Beberapa minggu setelah hajat, warung Bu Samsu buka lagi - dan cukup lengkap. Hanya, kali ini, isi warungnya bukan lagi milik sendiri. Bu Samsu hanya menerima titipan alias sekadar konsinyasi.
* * *
Warung Bu Samsu tentu bukan kasus satu-satunya yang bernasib serupa itu. Ma Erat, misalnya, boleh dikata orang pertama yang ngewarung di Sukapakir. Kira-kira tahun 1960 Erat dan suaminya, Otong, pindah ke daerah ini. Otong cuma seorang pedagang kecil yang - herannya - selalu gagal, meskipun sudah berusaha mati-matian. Dia sebetulnya cukup ulet; berjualan apa pun rasanya pernah ia lakukan: sayuran, loakan, perhiasan imitasi, tahu-tempe .... Dia berkeliling Kota Bandung dengan pikulan. Sering juga ke Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Tetapi apa pun yang ia jual, sejauh mana pun ia melangkah, hasilnya cukup pun tidak. Untunglah istrinya tidak kehabisan akal. Di rumahnya ia mulai berjualan rokok ketengan, kue-kue, dan barang kelontong dan belakangan malah nasi-sayur segala. Bahkan beberapa tahun kemudian, ketika suaminya kapok jualan keliling karena sering di-kompas, Erat meyakinkannya bahwa dengan warung saja mereka akan bisa hidup.
Melihat usaha Erat yang cukup menguntungkan, banyak orang mulai mengikuti jejaknya. Warung bermunculan. Itu menjelang akhir 60-an. jumlah warung tumbuh lebih cepat dari pertambahan penduduk, sehingga Erat mau tidak mau mulai merasakan tekanan persaingan. Sampai-sampai, ketika harga barang di grosir naik, ia sama sekali tidak berani menaikkan harga di warungnya. Dengan sendirinya keuntungan makin berkurang. Malah kadang-kadang dia tak sanggup lagi mengisi warungnya.
Tapi bagaimanapun warung harus dipertahankan. Untuk menyelamatkannya, mereka kemudian menjual separuh rumah. Dan sekarang mereka pun tinggal dalam satu ruangan sempit berdinding bilik yang berfungsi sekaligus sebagai ruang tamu, dapur, dan warung. Ruang tidur mereka bangun di langit-langit rumah.
Padahal kebutuhan suami istri Erat sebenarnya amat sederhana - mereka tidak punya anak yang harus dibiayai. Tetapi untuk itu pun warung tak mencukupi. Harga terus membubung, modal semakin susut. Buntutnya, beberapa bulan lalu warung kelontongnya tamat. Sekarang Erat hanya menjual nasi dan lauknya: lodeh, urab daun singkong, atau semur jengkol. Sebagian ia jual sendiri berkeliling dari gang ke gang, sebagian lain dijajakan di rumahnya ditunggui Otong, suaminya.
Beberapa bulan lalu, satu-satunya barang mewah yang mereka miliki - radio kaset - terpaksa di-lego. Erat sakit, dan mereka perlu uang.
* * *
Salah satu yang menyebabkan bermunculannya warung-warung di Sukapakir adalah semakin tidak cukupnya penghasilan keluarga, sehingga orang mencoba cari tambahan. Jangan lupa, bagian terbesar penduduk di sini pedagang kecil: kaki lima, pedagang asongan, atau orang pasar. Mereka merasakan betul menurunnya volume penjualan.
Kawasan ini juga jadi tempat berkumpulnya para buruh borongan. Dan sejak 1980 mereka ini cukup sulit mencari pekerjaan. Seorang buruh kadang-kadang harus menunggu sampai setengah tahun untuk mendapatkan lowongan. Dan, bila dapat dalam jangka waktu itu, proyek itu habis dalam beberapa minggu.
Sukapakir pun markas tukang becak dan pedagang keliling, yang sekarang posisinya semakin sulit. Dapat dimengerti mengapa setiap keluarga berusaha dengan cara apa pun memperoleh penghasilan tambahan. Dalam dua RT saja - yang memuat 135 rumah yang menampung kurang lebih 335 keluarga sudah ada 40 warung dan 14 orang penjaja makanan keliling. Dan dalam jangka 10 bulan saja, beberapa warung bangkrut.
Orang sering menganggap bahwa warung satusatunya jalan yang mungkin. Tentu saja bagi yang masih punya sedikit modal. Bagi yang tidak, usaha menambah penghasilan adalah bekerja menjadi pengupas bawang atau pembungkus kerupuk umumnya kaum ibu. Upah pengupas bawang sejak beberapa bulan lalu diturunkan, karena pekerjaan mereka pun memang dikurangi. Dulu upah mengupas dan mengiris Rp 60 per kg. Kemudian menjadi Rp 40 per kg, karena tugas mengiris sekarang dipercayakan kepada mesin iris. Sedang upah membungkus kerupuk dalam sehari bisa mencapai Rp 250 - itu pun tak bisa dilakukan tiap hari karena pabrik kerupuk umumnya beromset kecil.
Sukapakir termasuk daerah termiskin, dan terpadat di Bandung. Menurut sensus 1980, tingkat kepadatannya 900 orang lebih per hektar; berarti 90.000 orang per km. (Bandingkan: Bandung 18.061,71 orang per km2, Jakarta 11.023 per km2, Jawa 690 per km2, Indonesia 77 per km2. Semuanya data 1982 - berarti untuk Sukapakir sudah harus ada peningkatan. Tentang Bandung, setidak-tidaknya Gubernur sendiri pernah menyatakan ibu kota provinsinya itu sebagai kota terpadat di dunia - Red.). Dan ke-"superpadat"-an Sukapakir akan segera terasa begitu orang memasuki lingkungan itu.
Ini: anak-anak berjejal di mana-mana. Satu bangunan rumah kebanyakan dihuni dua, tiga, bahkan empat keluarga. Bukan hal aneh bila dua keluarga masing-masing ayah, ibu, dan beberapa anak menempati satu kamar (bukan rumah!) yang sama.
Dengan sendirinya, keadaan sanitasi dan kesehatan runyam. Penyakit menular cepat membiak, juga karena kebanyakan mereka belum memahami cara mencegahnya. MCK memang ada, tapi dua bangunan MCK tersedia untuk 335 keluarga.
Karena penduduk harus membayar guna mendapatkan setetes air bersih, kebanyakan mereka lalu kembali memakai air sumur untuk mandi dan cuci sekalipun sebagian besar sumur sudah tercemar rembesan air selokan.
Musim kemarau, selalu saja ada yang kena muntaber. Tingkat kematian anak tinggi. Jangan tanya mengapa mereka tidak pergi ke dokter - bahkan puskesmas.
Menantu perempuan Bi Esih, misalnya, sakit radang usus parah. Atas perintah dokter dia dimasukkan rumah sakit untuk operasi. Pembedahan pertama saja menguras uang mereka habis-habisan, sehingga ketika beberapa minggu kemudian direncanakan operasi lanjutan, Bi Esih dan anaknya merasa tidak sanggup lagi membiayai. Menantu Bi Esih itu kemudian dibawa pulang - dan belum sampai satu bulan, mati. Orang di sekitar malah menyesalkan mengapa penderita dibawa ke rumah sakit.
Jika ada rasa sakit, begitu umumnya mereka berpendapat, beli saja obat penahan sakit di warung, seperti Naspro dan sejenisnya, atau mencoba obat kampung. Tak usah malu-malu pergi ke dukun. Selain murah, kadang-kadang malah sembuh. Cari dukun tak perlu jauh-jauh - jumlah mereka di Sukapakir malah mengalahkan jumlah dukun di seluruh desa. Dukun di sini "serba bisa": mencarikan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…