Bagir Manan: Lebih Baik Saya Menjadi Korban

Edisi: 39/37 / Tanggal : 2008-11-23 / Halaman : 156 / Rubrik : WAW / Penulis : Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, Agung Sedayu


TUJUH tahun menjadi Ketua Mahkamah Agung meninggalkan berbagai kesan terhadap Bagir Manan. Pada 2000, guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, ini terpilih menjadi hakim agung lewat proses panjang di Dewan Perwakilan Rakyat. Setahun kemudian ia diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung.

Pada 2006, Bagir kembali dipilih oleh 44 hakim agung—dari 48 hakim agung saat itu—untuk mengetuai Mahkamah Agung. Ia memperpanjang masa pensiunnya pada 2005, dengan menerbitkan keputusan sebagai Ketua Mahkamah. Dalihnya, keputusan itu berdasarkan kesepakatan para hakim agung lain. Dan saat itu Mahkamah kekurangan hakim agung.

Masa jabatannya dia tuntaskan awal Oktober lalu, sesuai dengan masa pensiun hakim agung, pada usia 67 tahun. Ketika itu, Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, yang ramai mendapat sorotan publik. Salah satu pasal revisi adalah menaikkan usia hakim agung menjadi 70 tahun. Banyak kalangan menilai perpanjangan usia pensiun itu usul dari Mahkamah Agung. ”Kami jadi sasaran kemarahan. Ini tidak fair. Usia pensiun 70 tahun itu usul pemerintah,” ujar Bagir.

Berbagai peristiwa penting terjadi dalam masa kepemimpinannya. Misalnya gagalnya pembekuan Partai Golkar dan parlemen oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang dekritnya dibatalkan Mahkamah Agung—kejadian ini membuka jalan bagi Sidang Istimewa MPR. Ada pula penembakan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita dalam perkara Tommy Soeharto, hingga kasus suap Rp 5 miliar dalam perkara kasasi korupsi kehutanan dengan terdakwa pengusaha Probosutedjo. Hingga menjelang pensiun, mantan Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Kehakiman ini berseteru dengan Badan Pemeriksa Keuangan dalam soal biaya perkara.

Semula banyak harapan ditumpukan kepada Bagir untuk mereformasi Mahkamah Agung. Bagaimana kondisi sekarang? ”Kami tahu kami tidak dicintai, meskipun telah berusaha berbuat sebaik-baiknya dalam pekerjaan kami,” ujarnya.

Pada akhir Oktober lalu, dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran yang kini berencana kembali mengajar itu menerima Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Agung Sedayu dari Tempo di ruang kerjanya di Mahkamah Agung. ”Ruangan ini saya pinjam sebentar,” katanya. ”Saya tak berhak lagi berkantor di sini.”

Dalam upaya pemberantasan korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlihat lebih angker ketimbang pengadilan biasa. Semua terdakwa pasti masuk sel.…

Berapa jumlah perkara korupsi yang masuk ke pengadilan biasa? Dari 2007 sampai 2008, hampir 300 perkara korupsi dari kejaksaan. Ada sekitar 60 perkara yang putusannya bebas, tapi 240 yang lain terdakwanya dihukum. Jadi, tidak adil jika menganggap seolah-olah yang dari kejaksaan serba bebas. Coba lihat juga uang yang dapat diperoleh. Selama dua tahun ini uang denda sekitar Rp 31 miliar, dan uang pengganti Rp 650 miliar, ditambah US$ 22 juta. Berapa uang yang masuk dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi?

Bukankah itu…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…