Orang Kita Di Semenanjung
Edisi: 47/14 / Tanggal : 1985-01-19 / Halaman : 33 / Rubrik : SEL / Penulis :
DESA itu bernama Rejosari. Tak heran jika penduduknya bercakap, berlagak, dan bersopan santun gaya Jawa. Berpakaian pun khas Jawa - meski tanpa blangkon. Makan nasi juga dengan sayur lodeh, semur, tahu, tempe, ikan asin, plus nyamikan singkong goreng dan ketela rebus. Bahkan ada pula perkumpulan amelan, wayan kulit, ketoprak, ludruk, kuda kepang. Anak-anak bermain dengan sebangsa gasing, layang-layang, gobak sodor, atau permainan galah.
Yang tak seperti di Jawa adalah rumah mereka. Rumah-rumah itu berbentuk panggung (mana ada di Jawa?), mengapit ladang-ladang kelapa sawit serta kopi yang lumayan luas - yang juga susah ditemukan di Jawa yang padat.
Tak seperti di Jawa juga kesejahteraan mereka. Rejosari, yang terletak di Distrik Rengit mukim 12 Batu Pahat, Johor, tampak lebih makmur ketimbang umumnya desa di Jawa. Jalan belum diaspal, memang - masih berupa lempung merah yang diperkeras dengan batu-batu kecil. Tetapi penduduknya, yang cuma 837 jiwa atau 168 kepala keluarga, cukup bahagia dengan 1.377 ekar - sekitar 350 hektar kebun yang mereka miliki.
Ada sebuah sekolah dasar yag dilengkapi beberapa sarana olah raga untuk anak-anak mereka yang jumlahnya tak seberapa. Umpamanya tenis meja, bulu tangkis, sepak bola, dan sepak raga. Pendidikan memang wajib di Malaysia, dan agaknya ditaati betul-betul.
Itulah sebabnya, di desa itu buta huruf sudah hampir sirna. Bahkan, di sana terdapat empat sarjana dan tiga mahasiswa - seorang di antaranya, anak ketua kampung, belajar komputer di Universitas Kansas, AS. Juga 15 lulusan Sekolah Tinggi Pelayaran dan 40 lulusan Sekolah Menengah Pelayaran.
Pada sore hari anak-anak belajar agama - bertempat di sekolah dasar agama, semacam ibtidaiyah kita. Pelajaran agama ini, menurut Khatib Iswoto, 43, sang guru, membuat Islam orang Jawa Semenanjung lain dari Islam orang Jawa yang di Jawa. "Lebih murni," katanya. "Di sini tak ada lagi orang menurunkan atap rumah, membuat janur, atau membikin serundeng untuk acara pernikahan. Bisa dituduh Hindu."
Tetapi sembahyang mereka masih tampak seperti orang Jawa. Hampir semua memakai sarung, dan tak satu pun tak bertutup kepala. Ada beberapa yang berpakaian serba putih dan berjubah putih. Khatib Iswoto menyeru dalam bahasa Melayu. Teks khotbah yang dibacakannya berdasarkan edaran pemerintah - seperti semua masjid di Malaysia. Selesai salat dan zikir, para jemaah bersalam-salaman sambil berkali-kali menyeru, "Allahumma shalli 'ala Muhammad, ya Rabbi shalli 'alaihi wasallim." Sembahyang itu dilakukan di masjid satu-satunya di situ.
Orang-orang itu sudah tidak tahu lagi bahwa masjid mereka pun punya bentuk khas Jawa. Taslim, 51, kepala kampung, baru manggut-manggut setelah dijelaskan bahwa masjid jaminya itu, yang didirikan tahun 1954, berbentuk joglo.
Bangunan 14 x 14 m itu beratap sirap, bercat abu-abu, dan berwarna kuning gading. Kubahnya dihiasi kaca warna-warni. Di temboknya menempel jam dinding besar model Jawa, dengan lonceng gede yang berdentang tiap setengah jam. Mimbarnya dikerudungi kain yang warnanya juga kuning gading. Persis masjid di Jawa tahun enam puluhan.
Masjid seperti itu agaknya tak dianggap berbau Hindu, atau bertentangan dengan Islam. "Pokoknya, tradisi Jawa yang bertentangan dengan Islam dihapus," ujar Taslim.
Taslim pula yang menjelaskan bahwa ladang kelapa sawit dan kopi, yang di miliki tiap penduduk dengan jumlah rata-rata dua hektar, cukup untuk menghidupi mereka. Kata dia, 2 ha kelapa sawit tiap 15 hari menghasilkan 600 kg kelapa. Cukup besar.
Tapi tak terbilang semuanya kepunyaan pemilik kebun. Kuli-kuli yang memanen biasanya minta upah setengahnya. Maka, kata Taslim, yang untung ya kuli-kuli itu - yang umumnya pendatang baru dari Indonesia. "Pendapatan mereka paling kurang 15 ringgit tiap hari," ujarnya. Itu berarti sekitar Rp 6.000.
"Makanya banyak orang Jawa yang datang ke sini, meski dengan menyelundup!" Di Rejosari sendiri kini ada dua penyelundup baru. Keduanya - yang sementara ini tinggal di rumah Iswoto, sang guru agama - berasal dari Ponorogo, dan baru dua bulan di situ.
Mereka datang melalui laut. "Kita berbondong-bondong ke sini dengan perahu. Kadang melalui sungai-sungai kecil dan berjalan malam hari. Tohj sesampai di Daratan Melayu, semua aman. Tak ada penangkapan," kata salah seorang.
Di Rejosari, menurut pengakuan mereka, mereka mendapat 20 ringgit tiap hari. Belum termasuk hasil menjual rokok Gudang Garam selundupan yang dua ringgit per bungkus. Itulah yang menyebabkan mereka kerasan - malah berniat mengambil anak istri dari kampung. Kini mereka sedang dalam proses mengurus KTP Malaysia. Caranya? Gampang. "Bisa diatur dengan mengaku sebagai keluarga orang Jawa yang ada di Rejosari." Ini dibenarkan oleh Taslim.
Taslim sendiri penduduk asli Rejosari. Orangtuanyalah yang Jawa. Ayahnya, yang berasal dari Semarang, datang melalui Singapura. Tahun 1924 ia menuju Rejosari, dan dua tahun kemudian membangun rumah bergaya Melayu. Di Rejosari saat itu telah banyak pemukim dari Jawa, yang tampaknya sudah mapan. Permukiman orang Jawa di Malaysia memang sudah lama dikenal. Dan agaknya masih akan terus berlanjut, karena negara itu memang menawarkan lebih dari yang ada di kampung halaman.
* * *
Cerita pertama tentang orang Jawa di Malaysia dimulai oleh Hang Tuah. Dalam legenda tentang pahlawan laut terkenal itu disebutkan bahwa Sultan Melaka mempunyai beberapa pembesar Jawa. Pengaruh mereka terhadap pemerintahan konon cukup besar.
Selain itu, Sultan Melaka, konon pula, mempersunting dan memboyong putri raja Majapahit. Di Majapahit itulah Hang Tuah setelah diuji oleh Gajah Mada, diberi keris "Tameng Sari". Keris itu lalu digunakannya untuk membunuh temannya, Hang Jebat, yang berkhianat. Itu kata Abdullah bin Abdulkadir Munsji, pujangga pertama yang membukukan legenda itu. Maksudnya jelas: menggambarkan hubungan Melaka dan Majapahit.
Hubungan yang erat itu juga dibuktikan oleh Pati Unus. Adik Raden Patah, sultan pertama Demak ini, pada tahun 1512 membawa armadanya ke Melaka untuk membantu orang Melayu melawan Portugis. Sayang sekali usahanya gagal, dan ia terpaksa pulang dengan hampa. Portugis akhirnya justru mencaplok Melaka .
Pada zaman Portugis inilah awal pemukiman orang Jawa di Melaka diketahui. Paling tidak, itulah kata Tun Sri Lanang dalam buku Sadjarah Melaju, 1612. Meskipun kecil, dan tak ada catatan pasti, menurut Tun Sri, orang Jawa terdapat pula di beberapa tempat lain. Pekerjaan mereka: berdagang, menjadi hulubalang raja, atau sekadar mengembara. Daerah asal mereka tentu saja dari daerah paling maju di Jawa saat itu, yaitu pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur: Tuban, Gresik, Jepara, Demak, Pekalongan.
Jumlah penduduk Jawa membesar setelah abad ke-19. Beberapa penulis Barat dan Timur mengungkapkannya. Antara lain bisa disebut Annemarie de Waal Malefijt, Alice G. Dewey, R.N. Jackson, John S. Mayson, Virginia Thomson, Soedigdo Hardjosudarmo, Yusuf Ismael, Tunku Ahamsul Bahrin, S. Husin Ali, dan Khazin Mohamad Ali.
Orang-orang Jawa itu terdapat misalnya di Singapura. Pada tahun 1825, ketika kota itu baru saja didirikan Raffles, sudah terdapat 38 pak dan mbok Jawa. Sebelas tahun kemudian mereka bahkan membuka perkampungan sendiri: namanya Kampung Jawa, tentu. "Tentu jumlahnya cukup banyak, sehingga mampu membuka perkampungan," kata Prof. Amat Juhari Moain, keturunan Jawa yang menjadi guru besar bahasa Melayu dan pengamat sejarah Indonesia pada Universitas Pertanian Malaysia. Jumlah itu, menurut Craig A. Lockard, sudah mencapai 5.885 jiwa pada tahun 1881.
Craig mencatat pula pasal orang Jawa di Melaka, khususnya di Pulau Pinang. Jumlahnya 4.683 jiwa, pada 1871. Di situ mereka juga mengerjakan perkebunan dan membuka perkampungan - sampai sekarang masih ada, bahkan tak hanya sebuah.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…