Dari Jendela Selat Bosforus

Edisi: 42/37 / Tanggal : 2008-12-14 / Halaman : 59 / Rubrik : IQR / Penulis : Kurie Suditomo, Sri Pudyastuti,


Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006, tak henti-hentinya terinspirasi oleh Istanbul. Lebih dari selusin karyanya berbicara panjang tentang kota kelahirannya itu. Kota warisan Kerajaan Ottoman yang tak berhenti bergumul dengan identitas Timur dan Barat. Istanbul dalam benak Pamuk senantiasa tampil sebagai kota yang melankolis.

Di Frankfurt Book Fair yang berlangsung pada 15-19 Oktober lalu, Pamuk meluncurkan karya terbarunya, The Museum of Innocence. Di sela-sela kesibukannya di pameran buku terbesar dunia itu, kontributor Tempo di Jerman, Sri Pudyastuti Baumeister, berhasil mewawancarainya. Wawancara Pudyastuti kami turunkan di Iqra kali ini, dilengkapi dengan tulisan Kurie Suditomo.

DARI teras apartemennya di Cihangir, Kota Istanbul, remaja kurus berambut keriting berusia 15 tahun itu duduk manis dan ”menyalin” apa yang tampak membentang di hadapannya: pemandangan Selat Bosforus di sela-sela gedung, menara perawan Kizkulesi, dengan latar dua kota tua, Findikli dan Uskudar.

Di kemudian hari, ketika keluarganya pindah ke rumah lain di Besiktas Serencebey, pemandangan permukaan air Selat Bosforus terhampar lebih dahsyat: lanskap dataran batu Sarayburnu, Istana Topkapi—pusat Kerajaan Ottoman—dan bayangan Kota Tua. ”Saya bisa melukisnya tanpa mesti keluar dari rumah,” kata remaja itu.

Dan pendar-pendar permukaan air Bosforus tak henti-hentinya ia kagumi sampai ia berumur 56 tahun sekarang.

Namanya Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006. Manakala Turki menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair, Oktober 2008 (lihat ”Negeri dengan Sejumlah Pengarang Besar”), ia bintang yang bersinar paling terang di antara para pengarang. Bahkan Jakarta pun mengharap kedatangannya dalam Jakarta International Literary Festival—meski tak terlaksana.

Ia pernah tinggal di New York. Namun hanya tiga tahun dia bertahan. Ia juga pernah tinggal di kota-kota lain saat merasa ”terancam”. Tapi selebihnya ia masih tinggal di daerah yang sama, kembali ke rumah keluarga tempat ia dibesarkan, tempat ia bebas menikmati pemandangan Selat Bosforus itu dari ambang jendelanya.

Ia kini tak lagi melukis Bosforus dengan pensil dan kuas. Tapi, dari jemarinya, Anda dapat menikmati kenangan yang lekat tentang Bosforus dan kehidupan kota tua Istanbul pada selusin karyanya, antara lain My Name is Red, Snow, The White Castle, The New Life, The Black Book, atau karyanya yang terakhir, The Museum of Innocence.

Selat Bosforus memisahkan tanah Eropa dan daratan Asia. Istanbul memiliki wilayah di dua sisi Selat Bosforus. Sebuah jembatan panjang kini melintasi Selat Bosforus, menghubungkan dua benua yang dimiliki Istanbul. Bosforus bukan Sungai Seine di Paris, atau Tiber yang membelah Roma. Ia samudra bergelombang kuat, yang permukaannya berombak dan berangin kencang. Airnya gelap dan dalam. Lebarnya berkisar antara…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…