Mencari Selamat Di Kaki Lima
Edisi: 16/15 / Tanggal : 1985-06-15 / Halaman : 12 / Rubrik : NAS / Penulis :
LALU lintas di jalan Senen Raya, di samping Pusat Perdagangan Senen, macet. Dengan lincah Adang menyelip di antara sejumlah mobil, menghampiri seoran sopir bajaj yang mengimbaunya. Tiga batang rokok Gudang Garam filter dikeluarkannya dari bungkusnya, disodorkannya ke sang sopir yang langsung memberikan uang logam Rp 125 pada Adang.
Adang kembali menyelip ke tepi jalan. Kotak rokok yang tergantung di lehernya dipegangnya dengan tangan kiri. Matanya liar memandang kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali ia berpindah tempat: mencegat pengunjung yang keluar masuk pertokoan. "Dagang rokok eceran kayak begini harus rajin mendatangi pembeli. Tapi hasilnya lumayan, kata Adang.
Adang Mulyana, 23, berasal dari Cicadas, Bandung. Anak kedua dari enam bersaudara ini baru setahun berdagang rokok. "Dulu saya maunya jadi ABRI." Tapi niat lulusan Sekolah Teknik Pertama ini urung karena ayahnya, seorang pcgawai PLN, tak mampu membiayainya. "Untuk masuk ABRI 'kan perlu ratusan ribu rupiah," ujar Adang. Ia pernah empat tahun bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik pemintalan di Purwakarta, sebelum dikeluarkan karena perusahaan melakukan pengurangan karyawan akibat pasar yang lesu. Dengan bantuan seorang teman sekampung, Adang dikenalkan dengan seorang agen rokok di pasar Inpres Senen, yang mau meminjamkan rokok seharga sekitar Rp 35 ribu. Adang pun bergabung menjadi satu dengan puluhan pedagang rokok ketengan di daerah Senen.
Jam kerja Adang pukul 6 pagi sampai 8 malam. Kapasitas dagangannya sekitar tiga bos rokok. Selain itu, ia juga menjual permen, pastiles, dan kolonyet. Kalau lagi "ramai, Adang bisa memperoleh Rp 25 ribu, dengan keuntungan Rp 5 ribu. "Kalau lagi sepi, untung saya paling Rp 3.500." Jika keadaan betul-betul lesu, Adang bisa meminjam tambahan modal pada agen sampai Rp 40 ribu, yang bisa diangsur semampunya.
Telah tiga tahun Adang menikah. Bersama istrinya, ia menumpang tinggal di rumah temannya di kawasan Senen tanpa membayar. "Paling-paling memberi uang sekadarnya," ceritanya. Mereka belum punya anak. "Lamun tos gaduh bumi, nembe gadul putra." (Kalau sudah punya rumah, baru punya anak). Sekali sebulan, Adang mampu pulang ke Kuningan, ke rumah istrinya. Setahun sekali, waktu Lebaran, baru ia pulang ke rumah orangtuanya.
Adang menabung semampunya. Cita-citanya: punya kios rokok sendiri. Sebagai pedagang rokok eceran. mereka setiap hari hampir tiap jam diusir satpam Pusat Perdagangan Senen. "Kami lari saja menyeberang jalan," kata Adang. Penertiban dari Kamtib DKI Jaya sering juga. "Tapi penertiban itu terutama ditujukan pada pedagang yang memakai gerobak dorong. Kalau kami sih cukup main kucing-kucingan saja."
DEDI Djunaedi, 16, menyemir sepatu sejak kelas IV SD. Yang mengajaknya Maman, yang hingga kini menjadi "bos"-nya. Sekolahnya telantar. Waktu kelas VI SD, ia dikeluarkan. "Saya sering mengganggu Ibu Guru, dan ketahuan mencuri buku," katanya dengan suara datar. Keluarganya berantakan. Ayahnya meninggalkan keluarganya. "Katanya, ia bekerja di Jawa. Entah di mana." Ibunya tinggal di Leuwiliang, Bogor.
Dedi, biasa dipanggil Junei tinggal di rumah temannya sesama penyemir. Bila punya uang, ia tiap minggu memberikan seribu rupiah buat ibu temannya. Pukul 07.00 Junei sudah meninggalkan rumah. Sampai pukul 9.30 ia mangkal di hotel Palembang, Jalan Gajah Mada, Jakarta. Setelah itu, ia pindah beroperasi di pasar Blok M. Sore harinya mcnyemir di Gajah Mada Plaza. Terkadang berkeliaran sampai di Stasiun Kota.
Remaja berbadan pendek, bibir lebar, dan mata agak juling ini tampaknya tak peduli dengan penampilannya. Pakaian dan tampangnya kusut. Katanya, satu kaleng besar semir Kiwi cukup untuk menyemir 35 pasang sepatu. Tarif sepasangnya Rp 200. "Tapi kebanyakan pada bayar seratus," kata Junei sembari mematikan rokok Bentoel filternya. Sehari paling banyak ia bisa memperoleh Rp 2.500. Setorannya pada "bos" per hari Rp 500.
Junei menganggap hidupnya sangat sengsara. Pernah ia merasa kelaparan, sedangkan duit tak ada. Dengan nekat, ia mencongkel label Honda dari mobil yang terparkir, dengan obeng yang - entah kenapa - selalu di kantunginya. Di tukang loak, label itu laku Rp 200. Junei juga terus terang mengaku pernah membawa lari sepatu seorang sopir taksi yang disemirnya. "Lumayan, laku Rp 5 ribu karena masih bagus," katanya polos. Ia sering berkelahi dengan temannya sesama penyemir, berebut rezeki.
Pernah pula Junei kena razia polisi. Ia diangkut bersama para gelandangan. Junei menangis dan mengaku anak polisi. Mungkin karena polisi merasa kasihan, ia dilepaskan. "Kalau tidak, saya bisa dibawa ke Tangerang," cerita Junei sembari tertawa lebar.
Masa depan? Junei menggeleng. "Yang penting, hari ini saya bisa makan," katanya. Ia tidak pernah menabung. "Tiap hari uang saya habis." Sebatang rokok kretek disulutnya lagi.
ADANG dan Junei tergolong apa yang disebut pekerja sektor informal. Jumlah mereka yang sering diburu dan ditertibkan ini cukup banyak. Soetjipto Wirosardjono, wakil ketua Biro Pusat Statistik (BPS), menaksir bahwa sekarang ini 30% angkatan kerja nasional (yang menurut Statistik Indonesia 1983 berjumlah 52,5 juta) terserap dalam sektor informal. Sejumlah ahli lainnya menaksir angka yang lebih tinggi. Dr. Sudarsono dari UGM, misalnya, memperkirakan angka 50O. Malah ada yang menaksir, 60% angkatan kerja kita terserap sektor informal.
Menurut Soetjipto, sekitar 80% bidang perdagangan didominasi pekerja informal. Di sektor industri, 60% pekerjanya dari sektor informal. Sedangkan bidang transportasi sekitar 50%.
Mereka ini tersebar di mana-mana: mulai dari pedagang kaki lima, buruh tani, penjaja buah dan minuman, tukang ngamen misalnya kuda lumping - warung di pinggir jaian, tukang cukur jalanan, penjaja jamu, tukang ojek, pembuat stempel, tukang tambal…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?