Hiroshima, 43 Detik Sesudah Jam Nol

Edisi: 24/15 / Tanggal : 1985-08-10 / Halaman : 35 / Rubrik : SEL / Penulis :


SENIN, 6 Agustus 1945. Pesawat pengebom Amerika Serikat B-29 Enola Gay terbang rendah di atas Hiroshima. Menukik 60ø, dengan kelokan 158ø ke arah kanan, dan sampai pada jam nol. Itu berarti pukul 8.15 waktu setempat. Tombol bom di antara dua jari tangan ditekan. Waktu pun menghitung lambat: 1 detik, 2 detik, 3 detik, 43 detik - dan awak Enola Gay melihat kilatan di atas noktah merah sasaran. Misi berhasil. Pengebom seberat 4.500 kg itu memutar haluan, kembali ke pangkalannya di Pulau Tinian, utara Marianas 1.600 mil arah selatan.

Dan, di bawah, sebuah neraka menyeruak di permukaan bumi. Sebuah kota, dengan penduduk 250.000 jiwa, ambruk; semua bangunannya total runtuh, dan sebuah lingkaran api raksasa dengan panas 3.000øC menggantikan lingkaran batas kota. Korban terkapar: 60.000 tewas dalam sekejap, 100.000 lebih luka berat, sisanya terbujur tanpa daya. Termasuk diantaranya 40.000 pasukan infanteri di Markas Besar Angkatan Darat Chugoku. Jepang bertekuk lutut. Perang Dunia II pun usai.

Selasa 6 Agustus 1985, pekan ini, peristiwa lama itu kembali menjadi monumen. Pada peringatannya yang ke-40, berbagai seruan dan propaganda diuar-uarkan: mala petaka seperti itu, dengan pertimbangan strategis apa pun, hendaknya jangan lagi disentuh. Masyarakat Amerika Serikat sendiri, dari negara yang menciptakan neraka itu, dengan lantang menyokong kecemasan umum. "Lihatlah apa yang telah kita lakukan," majalah terkenal Time mementang tema pada kulit depan edisinya, minggu lalu. Sebab, akhirnya manusia jua - dengan lingkarannya yang kecil - yang harus menjadi bulan-bulanan satuan strategi perang. Sebuah pandangan klise, memang, tapi tak bisa lain. Kesadaran itu sudah diembuskan segera setelah Hiroshima menciut dalam kabung yang dalam, sementara negara-negara Sekutu merayakan kemenangan.

Mei 1946. Belum setahun neraka Hiroshima berlalu, majalah New Yorker mengirim wartawannya, John Hersey, ke kota itu untuk mengumpulkan kisah. Wartawan yang juga sastrawan itu berhasil menemukan sejumlah korban yang selamat, yang mampu merekam keadaan ketika Hiroshima dibikin lumat oleh cahaya yang hampir tak bersuara. Memang terlampau dini mengatakan orang-orang yang diwawancarai itu "selamat" - dalam jangka waktu baru setahun. Radiasi yang turun bersama bungkah bom dari perut Enola Gay mampu mengubah substansi semua benda, termasuk manusia - merusakkan asam amino pada spiral DNA, bagian inti sel, dan membuahkan cedera genetik. Kini saja, 40 tahun berselang, masih tercatat sekitar 300.000 korban akibat ledakan bom nuklir pertama itu.

Agustus 1946 laporan Hersey muncul di New Yorker. Kendati berhati-hati, karena sikap anti Jepang di AS masih tegar, kesimpulan Hersey tak jauh dari tema Time 40 tahun kemudian: "Lihatlah apa yang telah kita lakukan." Tentunya lebih basah dengan emosi dan gejolak perasaan, dan tanpa semangat propaganda.

Dan, laporan sepanjang 30.000 kata itu ternyata mengejutkan masyarakat Amerika dan dunia. Sampai-sampai New Yorker mencetak ulang edisinya yang memuat laporan itu - yang tak lama kemudian muncul sebagai buku, dengan judul sederhana, Hiroshima. Buku ini mengalami cetak ulang terus menerus - sampai di tahun 60-an.

Laporan Hersey bukan dokumen statistik kerugian yang dialami Hiroshima atau berapa korban yang telah ditelan dengan "berhasil" oleh malapetaka itu. Kisah wartawan itu adalah perihal lingkaran kecil manusia yang tertatih-tatih, dan yang tanpa mereka sadari - dengan pengorbanan maha besar - menjadi pengunci Perang Dunia. Dalam kisah itu tampak bagaimana Masakazu Fujii, Hatsuyo Nakamura, Terufumi Sasaki, dan Kiyoshi Tanimoto bertarung melawan bencana, menanggung beban ambisi negara mereka, bagai serangga-serangga menyusup ke sana ke sini, tapi yang datang adalah kilatan tanpa suara yang membongkar semua ikhtiar mereka, dan sesudah itu penyelamatan apa pun sia-sia. Senin 6 Agustus 1945 itu adalah hari paling laknat dalam hidup mereka.

* * *

Pagi itu Kiyoshi Tanimoto bangun pukul lima. Pendeta Gereja Metodis itu terlongong-longong sendiri di ruang kediaman pendeta, yang terletak di sisi gereja. Istrinya, bersama anaknya yang berumur setahun, beberapa hari terakhir sudah mengungsi ke Ushida, kawasan pinggiran di utara Hiroshima. Itu lebih baik, pikir Kiyoshi, karena belakangan ini ia senantiasa diburu kecemasan. Hiroshima dan Kyoto adalah kota-kota sisa yang belum lagi dilalui formasi B-san - julukan bagi pengebom B-29, yang kendati sekilas terdengar bersahabat (san berarti sahabat) terasa - sudah tentu - mengandung konflik dan kebencian.

Seperti juga tetangganya, hari ke hari Kiyoshi mengikuti dengan cermat berita radio yang mengumumkan pengeboman sejumlah kota penting di sekitar Hiroshima. Kure rusak berat. Iwakuni hancur. Tokuyama nyaris musnah. Dan jalur B-san kian lama terasa kian dekat. Kiyoshi sadar, lingkaran target sedang bergeser ke Hiroshima. Ia bahkan yakin, kota ini akan mendapat bagiannya tidak lama lagi.

Malam-malam terakhir dilalui Kiyoshi dengan tidur yang gelisah dan letih. Tanda bahaya udara meraung beberapa kali tiap malam, membuatnya terpontang-panting - dan sesudah itu tidur pun tak pernah lagi bisa penuh. Terhitung sejak awal Agustus itu Hiroshima memang senantiasa terguncang sirene, khususnya sejak skuadron B-29 menggunakan Danau Biwa di timur laut kota sebagai titik membentuk formasi ke mana pun operasi pengeboman dilakukan. Ini semacam permainan yang sangat menegangkan urat saraf: sekerap tanda bahaya mengaum, sekerap itu pula penduduk Hiroshima terkulai lemas - karena tak terjadi suatu apa. Ketegangan ini membuahkan kesimpulan umum: Amerika Serikat sedang menyiapkan sebuah pengeboman istimewa bagi Hiroshima. Dan semua penduduk seperti menantikannya. Juga Kiyoshi.

Setelah mengirim istri dan anaknya ke kediaman keluarga di Ushida, ia sendiri berusaha sebisanya mengungsikan sejumlah peralatan gereja - semua yang bisa dipikulnya sedikit-sedikit atau dimuatkannya ke kereta dorong - ke Distrik Nagaragawa di pedalaman Koi, dua mil dari pusat kota. Di situ, di daerah yang rimbun dengan pepohonan - hingga aman dari pengamatan udara - sebuah kawasan memang dibuka untuk pengungsian.

Seorang tetangganya, Matsuo, membantunya menggusur benda-benda yang agak besar. Terakhir adalah piano dan altar. Sebaliknya, Kiyoshi berjanji membantu tetangga itu mengungsikan harta benda.

Karena itulah Senin 6 Agustus itu Kiyoshi Tanimoto bangun pagi-pagi: ia akan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…