Dari Islam Sekuler S/d Komunisme...
Edisi: 32/15 / Tanggal : 1985-10-05 / Halaman : 28 / Rubrik : NAS / Penulis :
Ankara, Istanbul
MUSAVIR, sopir yang mcngantar kami di Istanbul, malam itu bicara soal politik, dengan bahasa isyarat. Ia tak bisa berbahasa Inggris.
Kami, tiga wartawan Indonesia, duduk bersamanya di restoran Altinbalik, secraya sesekali memandang ke luar jendela, ke kapal-kapal yang lewat Teluk Halic yang gelap. Cahaya mobil tak putus-putusnya merayap di atas jembatan Bosphorus di kejauhan.
Musavir tampak tak kikuk. Ia dengan gembira mengisap rokok kretek yang ditawarkan wartawan Pedoman Rakyat L.E. Manuhua, dan ia mendemonstrasikan bahwa orang Turki juga menyukai karanfil, yang tak lain adalah cengkih. Banyak persamaan antara Turki dan Indonesia, kami memberi isyarat.
Musavir ketawa dan kami bicara soal politik. "Bagaimana pendapat Anda tentang Presiden Evren ?" tanya kami.
"Evren?" tanyanya menegaskan. Kami mengangguk. Musavir meletakkan kepalanya, seperti orang tidur, enak, di atas kedua tangannya. Terjemahannya, menurut rekan saya, Nasrudin Hars dari Angkatan Bersenjata: di masa Evren sekarang, orang bisa tenang tidur.
Mungkin demikian. Saya teringat musim semi 1979. Wakil presiden waktu itu, Adam Malik almarhum, berkunjung ke Turki. Saya ikut dalam rombongan wartawan. Enam tahun yang silam itu, Ankara dalam keadaan darurat perang, seperti halnya sejumlah wilayah lain. Tentara tampak berjaga-jaga. Di pagi hari koran memasang gambar sebesar empat kolom: sebuah foto eorang bankir yang terbunuh. Ia diketahui sebagai simpatisan gerakan ultrakanan. Pembunuhnya diduga teroris sayap kiri.
Terorisme dan bentrokan kekerasan bertaut pula dengan krisis lain. Tamu-tamu Indonesia yang menginap di Buyuk Hotel di akhir April 1979 itu tiap pagi tak dihidangi kopi; cuma teh. "Kopi menghilang," seru judul berita koran. Kalimat lainnya menegaskan, "Ekonomi Turki nyaris bangkrut."
Waktu itu yang jadi perdana menteri adalah Bulent Ecevit, seorang sosialis bekas penyair, yang menerjemahkan Gintanjali Tagore. Orang yang kini jadi Presiden Evren waktu itu duduk di jabatan militer, sebagai kepala staf umum. Tampan, dengan pandangan yang ramah dan agak malu-malu, Evren sudah menarik perhatian sebagai tokoh alternatif yang pendiam, ketika negeri tengah terombang ambing. Dan benar: 12 September 1980 menjelang fajar, Jenderal Evren mengambil alih kekuasaan.
Pimpinan politik dari sayap kiri dan sayap kanan ditahan. Partai-partai dibubarkan. Pemerintah, setelah desakan pendapat di luar negeri, mengaku sendiri ada 15 orang mati karena disiksa di penjara. Evren memang mcnghadapi dilema. Di satu pihak ia harus mcnyelamatkan Turki dari apa yang disebutnya "anarki, terorisme, dan separatisme". Di pihak lain ia harus setia kepada kata-katanya sendiri, bahwa kehidupan politik tak akan terus-menerus dicampurtangani angkatan bersenjata. "Sebagai prajurit yang baik," kata Evren lima hari setelah kudeta, "kami selalu memenuhi janji."
Janji itu kemudian memang ia laksanakan - meskipun tak memuaskan setiap orang. November 1981, Evren membentuk majelis permusyawaratan yang menyusun sebuah konstitusi baru. Naskahnya kemudian ditawarkan kepada rakyat dalam sebuah referendum. Di dalamnya tampak bahwa Evren mencoba meniti buih - tapi dengan hati tetap - di tengah dilema Turki ke arah demokratisasi.
Jabatan presiden, yang ia pegang, dalam konstitusi itu akan berlangsung selama tujuh tahun. Presiden berhak memveto perubahan undang-undang dasar, mengangkat menteri tingkat tinggi, membubarkan parlemen, terus memimpin staf umum angkatan bersenjata, dan mengumumkan keadaan darurat dengan dekrit. Sementara itu, tokoh-tokoh politik lama dilarang bergiat selama 10 tahun, dan partai yang baru tak boleh mempunyai anggota yang sebagian besarnya bekas anggota partai terlarang.
Referendum di hari Minggu November 1982 itu menghasilkan 90% penyokong konstitusi Evren. Sebagian besar orang tentu tak membaca naskah undang-undang dasar itu. Tapi tampaknya jelas, mereka termasuk jenis sopir kami, Musavir: rakyat yang ingin tidur tenang, tanpa kerusuhan dan terorisme.
Dan memang, sejak itu bahkan krisis kopi tak ada lagi. Neraca perdagangan di tahun 1981 dan 1982 membaik, dan pertumbuhan Ekonomi mencapai 4,4%, tertinggi di Eropa dalam masa itu. Inflasi yang 100%, turun jadi 25% dan utang luar negeri yang mencapai US$ 14,5 milyar dapat distabilkan.
Mungkin sebab itu wajah Ankara kini lebih riang. Toko-toko besar memamerkan pakaian musim gugur para…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?