Seniman Menyerbu Pasar

Edisi: 08/16 / Tanggal : 1986-04-19 / Halaman : 56 / Rubrik : SR / Penulis :


BAGAI seekor kucing liar, Rendra melompat ke panggung tatkala tepuk tangan tiga ribu penonton pecah membahana. Dalam ruangan besar yang lampunya mendadak digelapkan, lampu sorot empat ribu watt berangsur menerangi pentas berukuran delapan kali 10 meter yang terletak di tengah gedung Istora Senayan itu. Bendera merah putih raksasa berada di belakang Rendra. Dan tepat pukul tujuh tiga puluh acara mulai, tanpa kata pendahuluan.

Matahari Bertapa, bersila di ubun-ubunku Kali mengalir dari mataku Dan bermuara di lautan.

Dari kejauhan, gedung yang biasanya dipakai untuk kegiatan olah raga itu selintas mirip UFO: semua lampu menyala terang. Di luar terparkir mobil-mobil mewah Volvo, BMW, Mercedes - di antara begitu banyak kendaraan pengunjung. Kendati demikian, penonton yang berduyun-duyun tetap saja sebuah porsi kecil bagi gedung yang punya sepuluh ribu tempat duduk itu.

Kosongnya banyak kursi hampir saja membuat acara baca sajak hari Ahad lalu itu batal. Pihak impresario tampaknya mencoba membujuk Rendra agar berpura-pura sakit, supaya pertunjukan bisa ditunda dan ada tambahan waktu buat menjual karcis. Maklum, sampai hari terakhir karcis yang terjual baru 8%, sementara target impresario 40% - dan akhirnya pertunjukan berlangsung dengan karcis yang laku 20%, seperti yang dinyatakan.

Tapi waktu itu Rendra menolak. "Ditonton beberapa orang pun saya akan tetap main," katanya. "Dulu saya sering baca sajak di depan sepuluh orang."

Ditonton sepuluh orang? Rendra? Yah. Tapi itu dulu, nun di tahun-tahun lima puluhan sampai awal enam puluhan. Waktu itu pembacaan sajak masih dianggap kegiatan remaja, dan para penyair belum lagi lazim membawakan karyanya sendiri. Masa itu membaca sajak disebut deklamasi acara yang cuma muncul jika ada perlombaan. Keadaan mendadak berubah sepulang Rendra dari Amerika di pertengahan tahun enam puluhan. Di negeri sana para penyair biasa tampil memperagakan karya mereka.

Dan di sini Rendra mencobanya. Berhasil. Lalu menjadi mode. Maka, di mana-mana penyair tampil membacakan sajaknya. Mula-mula cuma pakai mikrofon. Kemudian lahir bermacam alat perlengkapan, yang bibitnya terlihat pada Sutardji Calzoum Bachri - tidak hanya dengan gaya minum birnya yang terkenal itu, tapi juga, misalnya, kapak - yang menyebabkan sulit membedakan pembacaan sajak dari pertunjukan drama atau pergelaran musik. Yang terakhir itu terlihat misalnya pada Emha Ainun Najib, Yudhistira, atau Hamid Jabbar, para penyair yang lebih muda.

Mendadak terjadi lagi revolusi: Rendra, yang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dunia Kanak-Kanak dalam Dua dan Tiga Dimensi
1994-04-16

Pameran faizal merupakan salah satu gaya yang kini hidup di dunia seni rupa yogyakarta: dengan…

Y
Yang Melihat dengan Humor
1994-04-16

Sudjana kerton, pelukis kita yang merekam kehidupan rakyat kecil dengan gaya yang dekat dengan lukisan…

P
Perhiasan-Perhiasan Bukan Gengsi
1994-02-05

Pameran perhiasan inggris masa kini di galeri institut kesenian jakarta. perhiasan yang mencoba melepaskan diri…