Yang Mengantar Seniman Ke Pasar

Edisi: 08/16 / Tanggal : 1986-04-19 / Halaman : 60 / Rubrik : SR / Penulis :


RP 450 juta untuk biaya pementasan Guruh Sukarno selama sepekan. Dan Rp 12 juta hanya untuk honor delapan sajak yang dibaca Rendra secara nonstop selama dua jam. Itu terjadi di Senayan, pada waktu yang bersamaan. Jalanan macet. Parkir sulit. Dan calo karcis panen. Dan di belakang itu, sebuah bisnis dengan manajemen dan pemasaran - berdiri. Impresario.

Tetapi usaha mengadakan pertunjukan dengan menghitung uang (bukan sekadar kepuasan hati) tidak dimulai dengan Rendra atau Guruh - dan tidak dimulai dengan , mudah. Ketika Teguh Karya, sutradara film terkemuka, dan sutradara teater keluaran Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) .... mendirikan Teater Populer di masa sulit tahun -1961, "Modal awal kami cuma Rp 5 ribu," kata Teguh. Teater yang manggung di Hotel Indonesia, gedung paling mentereng waktu itu, dan asing dari soal seni, ternyata punya penonton - sesuatu yang membahagiakan Teguh. Penonton tetap ini "ditodong" dengan membayar iuran Rp 400 - jumlahnya 400-an orang. Dari iuran ini Teater Populer bisa bermain ajek sebulan sekali. "Waktu itu 'kan belum ada sponsor," Teguh mengenang.

Pemilihan tempat manggung di HI juga lantaran keterpaksaan. Gedung Kesenian di Pasar Baru, yang biasa dipakai ATNI, mau dibongkar. "Dan satu-satunya panggung yang ada lampunya, ya, di HI. Itu sebabnya namanya Teater Populer HI."

Tapi tak seluruhnya gemerlap terang. Teguh ingat, misalnya, bagaimana ia menyerahkan honor kepada Mieke Wijaya waktu itu sudah bintang film terkemuka dalam bentuk uang. Jumlahnya - jangan kaget - Rp 400. "Saya sampai berkata, apa tidak lebih baik uang itu kita list saja sebagai kenang-kenangan," kata Teguh.

Ketika Taman Ismail Marzuki berdiri, 10 November 1968, Teguh pun mengarahkan pandangan ke bekas kebun binatang itu. Tapi ia baru bisa menikmati TIM tahun 1971. "Begitu kami pindah main ke TIM, penonton kami sudah sembilan ribuan." Artinya, yang empat ribuan adalah penonton yang sudah dibinanya. Kini grup Teguh tak nampak di TIM lagi, tapi ia tak kecewa.

Yang dilihat Teguh Karya sekarang: adanya perubahan nilai di masyarakat, di luar pekerja seni sendiri. Orang-orang bisnis mulai melempar sebagian keuntungannya untuk membiayai kesenian. "Saat ini saya kira saat yang paling subur," katanya.

Kesuburan itu juga yang dinikmati Rendra. Ketika ia memecahkan rekor bayaran termahal untuk membaca sajak, Rp 3 juta, Desember tahun lalu di Taman Ismail Marzuki, di belakangnya berdiri J. Handojo, Presiden Direktur PT Mitra Adisankha. Lepas dari sini ia dipeluk cukong baru, Kurnia Kartamuhari, Presiden Direktur PT Artha Saphala, perusahaan yang bergerak di bidang angkutan pupuk. Kurnia inilah yang menerbangkan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dunia Kanak-Kanak dalam Dua dan Tiga Dimensi
1994-04-16

Pameran faizal merupakan salah satu gaya yang kini hidup di dunia seni rupa yogyakarta: dengan…

Y
Yang Melihat dengan Humor
1994-04-16

Sudjana kerton, pelukis kita yang merekam kehidupan rakyat kecil dengan gaya yang dekat dengan lukisan…

P
Perhiasan-Perhiasan Bukan Gengsi
1994-02-05

Pameran perhiasan inggris masa kini di galeri institut kesenian jakarta. perhiasan yang mencoba melepaskan diri…