Praktek Ilegal Upah Pungut

Edisi: 36/38 / Tanggal : 2009-11-01 / Halaman : 75 / Rubrik : INVT / Penulis : Tim Investigasi, ,


DUA bulan setelah memimpin Departemen Dalam Negeri pada 2001, Hari Sabarno ”menemukan” sumber dana penting: bagian pemerintah pusat dari penarikan pajak kendaraan bermotor di pelbagai daerah. Jumlahnya sungguh ”lumayan”, sekitar Rp 40 miliar per tahun. Tapi, menurut aturan, duit itu hanya bisa dipakai buat kepentingan pemungutan pajak—karena itu kemudian disebut ”upah pungut”.

Padahal Hari sedang menghadapi persoalan pelik. Anggaran operasional seret, sementara kegiatan bejibun. Hari pun menggelar rapat dengan bawahannya. Hasilnya sebuah peraturan menteri. Aturan baru ini memungkinkan pemakaian duit upah pungut buat kepentingan di luar penarikan pajak. Maka bendungan itu pun jebol: duit mengalir ke aneka keperluan, dari ulang tahun istri menteri sampai sewa gedung pernikahan.

Dari kuitansi bukti rupa-rupa pengeluaran yang diperoleh Tempo, keluarlah Rp 255,9 miliar pada periode 2001-2008. Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan aliran dana itu ilegal. Juli lalu, Indonesia Corruption Watch melaporkan soal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Siapa saja aktor di balik praktek ilegal ini?

20 September 2001.

MENTERI Hari Sabarno memanggil empat bawahannya ke ruang kerja di lantai dua gedung Departemen Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Mereka adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sudarsono Hardjosoekarto, Inspektur Jenderal Sinyo Harry Sarundajang, Sekretaris Jenderal Siti Nurbaya, dan Sekretaris Direktur Jenderal Otonomi Triyuni Soemartono.

Agendanya membahas dana upah pungut pajak. Ini adalah duit yang disisihkan dari penerimaan pajak daerah—pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor—yang mesti disetorkan ke pemerintah pusat. Kepada tiga pejabat eselon satu dan satu di level eselon dua itu, Hari meminta laporan dana kontribusi pajak yang sudah diterima dari pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota setiap tahun.

Berdasarkan aturan, setiap daerah menyetor lima persen dari total penerimaan dua jenis pajak itu. Uang ini sebagai insentif bagi para pemungut pajak di lapangan. Separuh dibagi untuk kepolisian serta aparat di daerah, setengahnya lagi jatah Departemen Dalam Negeri yang menyebut diri ”pembina pusat”.

Hari bercerita, ia mengadakan rapat itu lantaran diprotes Markas Besar Kepolisian RI, yang tak lagi menerima bagian. Di pojok-pojok kantor Departemen juga menyebar gosip: sejumlah direktur menilap duit miliaran itu. Padahal Departemen sedang butuh duit untuk pelbagai kegiatan menteri dan pejabat. ”Saat itu tak ada dana operasional sama sekali,” kata Sarundajang, yang kini Gubernur Sulawesi Utara, Selasa pekan lalu.

Dana upah pungut pun dilirik sebagai salah satu pilihan sumber dana. Auditor internal ketika itu melaporkan, setoran pemerintah daerah yang tersimpan di Bank DKI atas nama Direktur Jenderal Otonomi Daerah itu mencapai Rp 23 miliar. Jumlah itu merupakan akumulasi dari jatah penerimaan pajak dan bea balik nama kendaraan bermotor sejak 1976.

Setelah mendengar laporan empat anak buahnya, Hari meminta pertimbangan buat mengelola ”upeti” itu. Sarundajang mengusulkan agar pedoman pemakaiannya diatur melalui keputusan menteri. ”Agar transparan dan tertib,” katanya.

Masalahnya, sejak dulu pos nonbujeter ini juga dipakai untuk ”pembinaan politik”, tunjangan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Muslihat Cukong di Ladang Cepu
2008-01-13

Megaproyek pengeboran di blok cepu menjanjikan fulus berlimpah. semua berlomba mengais rezeki dari lapangan minyak…

T
Terjerat Suap Massal Monsanto
2008-02-03

Peluang soleh solahuddin lolos dari kursi terdakwa kejaksaan agung kian tertutup. setumpuk bukti aliran suap…

H
Hijrah Bumi Angling Dharma
2008-01-13

Blok cepu membuat bojonegoro tak lagi sepi. dari bisnis remang-remang hingga hotel bintang lima.