Setelah Protes Antihelm ; Heboh Helm Di Ujungpandang

Edisi: 37/17 / Tanggal : 1987-11-14 / Halaman : 34 / Rubrik : NAS / Penulis :


KOTA Ujungpandang berdenyut. Toko-toko dan pusat perbelanjaan akhir pekan lalu mulai dibuka. Dan pembeli, yang tadinya sepi, mulai ramai iua. Sekolah dan universitas tak lagi diliburkan.

Tapi sampai Senin pekan ini, pengendara sepeda motor umumnya belum memakai pelindung kepala, helm. "Saya tak berani pakai helm. Takut nanti justru jadi penyulut aksi lagi," ujar seorang pengendara.

Selama dua hari, Sabtu dan Senin pekan lalu, kota terbesar di Indonesia Timur itu diguncang oleh demonstrasi yang dilakukan oleh ribuan anak muda. Akibat kerusuhan, tiga orang meninggal dunia.

Sebuah tragedi yang patut disesalkan, memang. Yang menggembirakan, tidak semua orang dan pejabat lantas menanggapinya dengan hati panas.

Kapolri Jenderal Polisi Mochamad Sanoesi, misalnya, mengajak semua pihak untuk dapat memetik hikmah dari kasus ini. Ia mengaitkannya dengan perlunya ditumbuhkan budaya demokrasi. "Untuk apa sampai ada korban? Kalau tidak setuju, ajukan ke DPR. Karena, sebagai negara demokrasi, pemerintah membuka luas jalur-jalur konstitusional itu," kata Kapolri.

Sebetulnya, alasan helmisasi itu logis: untuk mengurangi kemungkinan cedera kepala dalam kecelakaan lalu lintas. Penelitian polisi pada tahun 1972 menyebutkan bahwa 50% korban kecelakaan lalu lintas menemui kematian karena luka di kepala. Pimpinan Polri menargetkan pada tahun 1990 kewajiban memakai topi pengaman kepala itu berlaku di seluruh Indonesia, buat pengendara, juga pembonceng.

Soalnya, blla pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan, tentu saja pembonceng akan menerima risiko yang sama. Malah sering pembonceng mengalami cedera yang lebih fatal, lebih-lebih kalau kendaraan itu ditabrak dari belakang.

Kapolri Mochamad Sanoesi menilai, parasuami yang memboncengkan istri di sepeda motor tanpa helm adalah suami yang hanya mementingkan diri sendiri. "Apa tidak sadistis membiarkan istri yang diboncengkannya tidak pakai helm?" kata Sanoesi.

Begitupun, berbagai suara menentang muncul di beberapa kota. Sebegitu jauh, reaksi terbesar adalah yang terjadi di Ujungpandang pekan lalu itu. Ketika wajib helm diperkenalkan untuk pertama kali di kota itu, Desember 1985, protes sudah terjadi. Padahal, ketentuan itu hanya diberlakukan terbatas di jalan-jalan protokol.

Ketika itu, sejumlah mahasiswa UVRI (Universitas Veteran Republik Indonesia) melakukan unjuk rasa antihelm. Peristiwa itu di sana disebut "kasus Bawakaraeng," karena demonstrasi terjadi di Jalan Gunung Bawakaraeng, lokasi kampus UVRI, di pusat kota. Jalan itu menjadi sasaran pertama ketika polisi memperkenalkan daerah wajib helm.

Pada minggu terakhir Maret 1986 terjadi lagi unjuk perasaan di Bawakaraeng. Aksi kedua ini tampaknya ditujukan untuk menggugat rencana polisi yang akan memberlakukan wajib helm secara penuh di kota itu, mulai 1 April 1986.

Razia-razia polisi nyatanya ampuh untuk meningkatkan jumlah pemakai helm. Itu bisa diketahui dari catatan di Poltabes Ujungpandang. Sampai Oktober 1987, hampir 100% pengendara sepeda motor di Kota Angin Mamiri itu menggunakan helm. Padahal, tahun sebelumnya cuma sekitar 40%.

Pada 1986, polisi Ujungpandang mencatat telah terjadi 459 kecelakaan sepeda motor, dengan 39 korban meninggal dunia, 22 tanpa helm dan 17 dengan helm. Tahun ini, kecelakaan menjadi 544, dengan korban jiwa 16, delapan dengan helm dan delapan tanpa helm.

Karena itulah sejak…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?