Jenewa Di Persimpangan Jalan
Edisi: 15/39 / Tanggal : 2010-06-13 / Halaman : 59 / Rubrik : IMZ / Penulis : Tantyo Bangun , ,
JIKA mendarat di Jenewa, perhatikan dinding bandar udaranya selama berjalan di atas conveyor menuju tempat pengambilan bagasi. Ada yang tidak biasa di situ: esai kisah kelinci dan kura-kura tertulis di sepanjang lorong. Bait demi bait, pelajaran tentang si kecil dengan komitmen teguh akan mengalahkan keangkuhan sang adidaya yang ceroboh.
Saya tidak tahu maksud fabel itu terpajang di sebagian panjang lorong, tapi Jenewa secara geografis memang bukan kota besar. Bentuknya mirip tapal kuda di ujung selatan Danau Jenewa. Jangan dulu membandingkannya dengan kota-kota besar dunia; dibandingkan dengan canton (negara bagian) lain di Swiss saja, Jenewa salah satu yang terkecil luas wilayahnya. Namun siapa yang tidak kenal reputasi Ibu Kota HAM Dunia ini?
Bukan saja karena Palang Merah Dunia, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau Badan Urusan Pengungsi PBB berkantor pusat di sini. Sejarah badan-badan dunia yang sarat urusan kemanusiaan itu memang difasilitasi dan lahir atas andil warga Jenewa. Henry Dunant, bapak palang merah dunia, adalah warga Jenewa.
Namun suasana di Jenewa dan Swiss pada umumnya memang agak lain pada Maret lalu. Di tengah berlangsungnya sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB, reputasi kampiun hak asasi manusia di negara kawasan Pegunungan Alpen itu tengah mendapat sorotan. Mulanya adalah hasil referendum yang diajukan komite dari Partai Rakyat dan Uni Demokratik Federal yang berhaluan kanan untuk melarang pembangunan menara masjid. Hasil pemungutan suara memenangkan pelarangan. Mau tak mau, hal ini mengesankan diskriminasi terhadap agama.
Sentimen ke arah itu sebelumnya bisa dilihat dari poster-poster kampanye pelarangan menara masjid. Menara masjid digambarkan bak pucuk-pucuk senapan berbayonet, yang seolah mewakili militansi Islam. Hal ini dipelesetkan dari kutipan pidato Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 1997, yang menyebutkan: âMasjid adalah barak kami, kubahnya adalah helm kami, menaranya adalah bayonet kami, dan umat adalah prajurit. Angkatan perang suci inilah penjaga agama kami.â Kebetulan, kasus menara masjid di Swiss diawali persengketaan antara asosiasi masyarakat Turki di Wangen bei Olten, Swiss utara, dan masyarakat setempat.
Sebenarnya, yang terjadi dalam pemungutan suara itu adalah gejala umum di Eropa menyikapi perkembangan Islam. Dari beberapa jajak pendapat di Prancis dan Jerman, umpamanya, banyak pendapat yang cenderung setuju bila mereka dihadapkan pada pilihan serupa. Yang mengherankan: mengapa Swiss yang memulainya?
Ada analisis yang menyebutkan bahwa Swiss âterlalu demokratisââuntuk ukuran Eropa sekalipunâkarena inisiatif populer setingkat desa saja bisa berlanjut hingga pemungutan suara nasional. Ada juga yang berkesimpulan bahwa karakter Swiss yang netral dan sangat menghargai hak asasi ternyata tidak imun terhadap virus Islamofobia yang melanda Eropa dan Barat pada umumnya.
Saat keluar dari bandara dan menuju hotel di kawasan Gare de Cornavin, sebagian pertanyaan itu terjawab. Sang pengemudi yang sudah tinggal berpuluh…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegarawan, sumbangan terbesar…
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…