Terpaksa Berpaling Ke Chevron

Edisi: 52/39 / Tanggal : 2011-02-27 / Halaman : 98 / Rubrik : EB / Penulis : Agoeng Wijaya , ,

Deru mesin turbin meraung-raung dari empat blok pembangkit listrik Muara Tawar, Bekasi, Rabu siang pekan lalu. Samar-samar ke pulan asap abu-abu menyembul dari cerobong-cerobong putih bergaris merah yang berjejer di atas generator. ”Dari situ lebih dari 1.000 megawatt listrik dihasilkan untuk kebutuhan Jawa dan Bali,” kata General Manager Unit Pembangkitan Muara Tawar Rully Firmansyah kepada Tempo di Jakarta.

Dari kompleks pembangkit seluas 50 hektare itulah setrum 1.350 megawatt dialirkan ke jaringan sistem kelistrikan Jawa-Bali. Masalahnya, biaya penyediaan listrik untuk infrastruktur milik PT Pembangkitan Jawa-Bali, anak perusahaan PT PLN, itu sangat tak efisien. Tujuh dari 12 turbin gas terpaksa bekerja menggunakan solar. Biayanya sekitar Rp 2.000 per kilowatt hour (kWh) atau kilowatt jam. Bandingkan jika memakai bahan bakar gas, yang biayanya hanya Rp 400-500 per kWh.

Muara Tawar membutuhkan 360 juta kaki kubik gas sehari. Namun, menurut laporan, perusahaan hanya mendapat pasokan gas 148 juta kaki kubik. Apa boleh buat, solar pun dipakai untuk menutup defisit gas. Kebetulan pembangkit Muara Tawar dirancang tetap bisa beroperasi menggunakan bahan bakar minyak. ”Pembangkit harus terus beroperasi mengalirkan listrik meski biayanya mahal,” kata Rully.

Kurangnya pasokan gas di pembangkit Muara Tawar ini lantas dibahas di Senayan. Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Priyo Santoso ”buka kartu” dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu siang dua pekan lalu. Distributor gas milik negara…

Keywords: -

---

Foto Terkait