Dari Empu Brojo Sampai Empu Supo

Edisi: 15/40 / Tanggal : 2011-06-19 / Halaman : 82 / Rubrik : IMZ / Penulis : Anang Zakaria , Ahmad Rafiq , Ishomuddin


SEPINTAS ruangan seluas sekitar 28 meter persegi yang berada di belakang rumah utama itu mirip dapur di pedesaan. Di dalam bangunan berlantai tanah dan berdinding bata merah tanpa semen itu terdapat tungku dengan arang serta abu sisa pembakaran berserakan. Di sekitarnya tergeletak belasan palu dan catut, sekop kecil, beberapa batangan besi panjang dan pendek, serta linggis-linggis kecil. Ada juga dua pipa yang berfungsi sebagai pompa angin dan bak kecil sedalam kira-kira setengah meter berisi air. ”Ya, seperti inilah tempat kerja saya,” ujar Sungkowo Harum Brojo, seorang empu pembuat keris di Yogyakarta.

Bangunan sederhana di belakang rumah Sungkowo di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Moyudan, Sleman, itu adalah besalen—bengkel tempat sang empu membuat keris. Dari tempat sederhana itulah empu berusia 58 tahun ini telah menghasilkan puluhan keris pesanan dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Pemesannya, antara lain, datang dari Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Makassar. Adapun pemesan luar negerinya ada yang dari Amerika, Jerman, Prancis, Belanda, Spanyol, Slovakia, Jepang, dan Venezuela. Para pemesan keris Sungkowo berasal dari pelbagai kalangan, mulai politikus, pejabat, pengusaha, jenderal, hingga duta besar.

Beberapa waktu lalu, misalnya, seorang bupati di Jawa Tengah datang menemuinya. Dia meminta dibuatkan sebilah keris dan ujung tombak. Tombaknya tiga pamor, pangkalnya beras wutah (simbol kemakmuran), ron kendhuru (kewibawaan), dan junjung drajat (biar derajatnya terangkat) di ujungnya. Adapun kerisnya, luk 7 berpamor sempono bungkem. ”Pamor pada keris itu agar sang Bupati tak didemo oleh masyarakatnya,” katanya.

Sungkowo memang membuat keris hanya berdasarkan pesanan. Berbeda dengan keris sebagai barang kerajinan yang diproduksi massal, keris Sungkowo dibuat satu per satu hingga jadi. Alat yang digunakan pun masih tradisional. Untuk membuat sebilah keris dibutuhkan waktu sekitar 40 hari. Karena itu, seorang pemesan tak bisa langsung mendapatkan kerisnya dalam waktu dekat. Saking banyaknya pesanan belakangan ini, setidaknya mereka harus menunggu 1-2 tahun untuk mendapat keris yang dipesannya.

Selain memakai peralatan lama, Sungkowo termasuk empu yang masih setia pada tata cara empu tradisional di masa lalu sebelum membuat keris. Sungkowo, misalnya, berpuasa pada hari-hari mulai membuat keris. Ia juga tak tidur sebelum tengah malam. Sang empu pun pantang berhubungan intim.

Tradisi lain yang ditaati Sungkowo adalah pantang membuat keris pada hari-hari khusus, misalnya Kamis Wage dan Rabu Wage. Menurut Sungkowo, bila hari pantangan itu dilanggar, ada saja kendala yang ditemuinya. Tungku tak menyala sempurna,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20

Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegara­wan, sumbangan terbesar…

I
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20

Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…

K
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20

Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…