Gado-gado Jakarta Di Berlin
Edisi: 20/40 / Tanggal : 2011-07-24 / Halaman : 64 / Rubrik : LAY / Penulis : Ging Ginanjar, ,
Monbijoupark, sebuah taman terbuka di tepi Sungai Spree di kawasan timur Berlin. Cuaca begitu cerah. Matahari bersinar terang. Kolam renang untuk anak di taman itu dipenuhi pengunjung. Orang hilir-mudik dengan baju-baju terbuka. Bangku dan kursi kafe di tepian sungai dipenuhi pengunjung yang datang dengan minuman di tangan dan wajah berseri-seri.
Di salah satu pojok terdapat sebidang ruang kosong. Itulah arena tempat biasanya orang-orang berdansa jika waktu dan cuacanya cocok. Tapi sore itu agak berbeda. Sejumlah orang yang berada di sana berbaju hitam-hitam serta saling berteriak dan membanting. Mereka memang bukan berdansa, melainkan beratraksi pencak silat yang diiringi kendang pencak. Pengunjung riuh bertepuk tangan menyaksikan para pesilat yang semuanya bule Jerman itu, kecuali gurunya, Ocav Dirgantara Setiadji, orang Sunda yang sejak 1982 tinggal di Berlin.
Suasana ganjil lain muncul di bagian atas, di halaman Amphitheater. Di sana ada bar terbuka yang melayani minuman, khususnya bir. Tapi kali ini ada wangi aneh yang menguar. Yap, itulah bau martabak telor yang dijual sekelompok mahasiswa Indonesia. Mereka juga menjual risoles, kacang sukro, kacang kulit, permen Kopiko, dan beberapa penganan khas Indonesia.
Jakarta-Berlin Art Festival terasa suasananya hari itu di Monbijoupark, yang dulu bagian dari Berlin Timur. Para pengunjung bar dan kafe, yang sebetulnya datang untuk sekadar makan atau minum, pun terseret suasana tersebut. Mereka masuk Amphitheater dan menyimak kesenian dari negeri jauh, yang bahasanya asing di telinga mereka.
Di dalam Amphitheater, suasana mulai dibangun oleh atraksi rampak kendang sejumlah anak muda Indonesia. Kelompok Puspa Gita Pertiwi memang bukan pemusik profesional, tapi penampilan mereka mampu membangun atmosfer Jakarta Open Air, mata acara pembuka Jakarta-Berlin Art Festival, pesta kesenian Indonesia di Berlin, yang berlangsung selama 25 Juni hingga 3 Juli 2011.
Berkat penampilan anak-anak belasan tahun itu, pengunjung tertarik masuk dan siap menikmati acara yang lebih serius dari para seniman profesional, seperti pertunjukan puisi Sunda oleh Godi Suwarna, teater Sosiawan Leak, pantomim Sena Didi Meme, dan konser Krakatau (lihat "Bermain Sarung dan Berpuisi Sunda"). Selain itu tampil pula That Tomi Simatupang Incarnation, kelompok musik pimpinan Tomi Simatupang, dan Agus Nuramal alias Agus PM Toh dengan atraksi pentas bonekanya yang khas di gedung pertunjukan untuk anak, beberapa puluh meter dari situ.
Suasana begitu hidup. Kita benar-benar merasakan suasana sebuah festival. Terlebih lagi cuacanya yang begitu hangat dengan suhu mencapai lebih dari 30 derajat Celsius. Tapi suasana itu…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Saat Perempuan Tak Berdaya
2007-12-16Tidak ada senyum, apalagi keceriaan. tidak ada pula musik yang terdengar di film ini. dari…
Perjamuan Da Vinci
2006-05-28Bermula dari novel, lalu bermetamorfosis ke dalam film. di kedua bentuk itu, the da vinci…
YANG KONTROVERSIAL
2006-05-28Dan brown mengemukakan teori bahwa yesus mempercayai maria magdalena sebagai pemangku ajaran kristiani yang utama,…