Pramono Edhie Wibowo: Jadi Presiden Itu Enggak Enak

Edisi: 41/40 / Tanggal : 2011-12-18 / Halaman : 164 / Rubrik : WAW / Penulis : Tomy Aryanto, Setri Yasra, Fanny Febiana


TENTARA umumnya menyenangkan bila bikin janji: selalu tepat waktu. Persis pukul sebelas siang—seperti yang dijadwalkan—Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo menerima Tempo di kantornya, Markas Besar AD, Jalan Veteran, Jakarta. Tempat itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor abang iparnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara.

Tidak seperti SBY yang jangkung dan besar, tinggi Pramono layaknya kebanyakan pria Indonesia, sekitar 165 sentimeter. Tubuh masih selangsing ketika dia lulus Akademi Angkatan Bersenjata RI pada 1980. Wajahnya, terutama mata, amat mirip dengan ayahnya, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo.

Setelah basa-basi yang tak sampai lima menit, sebelum pertanyaan pertama terlontar, dia mengajukan dua syarat. Pertama, dia tak mau fotonya ada di halaman wawancara. "Saya tidak mau dianggap lagi jualan," kata dia.

Tapi, setelah negosiasi sejenak, dia bersedia fotonya dipasang, asalkan bersama perwira tinggi Angkatan Darat yang ikut wawancara ini—Wakil Ksad Letnan Jenderal Budiman, Asisten Logistik Mayor Jenderal Sonny Widjaja, Asisten Operasi Mayor Jenderal Hardiono Saroso, Wakil Asisten Perencanaan Brigadir Jenderal Prawiro Prasetyanto, dan Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Wiryantoro N.K.

Syarat kedua, "Saya tidak mau ditanya soal politik." Soal politik yang dimaksud adalah tentang isu bahwa dia akan dicalonkan dalam pemilihan presiden pada 2014. Syarat ini berat, karena inilah salah satu hal penting yang hendak kami tanyakan sejak saat dia dilantik menjadi Kepala Staf, enam bulan lalu. Maklum, sebagai adik Ani Yudhoyono, banyak yang menganggapnya sebagai "putra mahkota" Cikeas.

Hal lain yang juga hendak kami tanyakan saat itu adalah soal belanja sejata besar-besaran TNI Angkatan Darat. Anggaran yang sudah disetujui parlemen untuk pembelian senjata selama tiga tahun ke depan Rp 14 triliun. Sebagian uang itu—US$ 280 juta (Rp 2,5 triliun)—akan dibelikan seratus tank tempur (main battle tank) Leopard 2A6 buatan Jerman. Berbeda dengan para tetangga—Singapura, Malaysia, dan Thailand—yang telah memiliki puluhan bahkan ratusan tank besar sekelas itu, Indonesia hanya memiliki tank ringan.

Pembelian alat militer dalam jumlah besar seperti itu adalah gula yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan makelar senjata. Bayaran untuk mereka cukup besar. Kalau bisa didapat 5 persen saja, Rp 700 miliar sudah pasti bisa dikantongi. Siapa tak ngiler? Soal fee untuk para perwira dan pejabat tinggi yang meloloskan juga bukan rahasia lagi.

Untuk hal ini, sang jenderal bersedia menjawab. Ia bahkan memilih topik ini sebagai "medan pertempuran" siang itu. Selain meminta para perwira tinggi yang terlibat pembelian senjata menemani, di belakang kepalanya tersusun rapi dua buku, The Military Balance 2011 dan Leopard 2. Kacamata baca dan secarik kertas catatan tergeletak di atasnya, tanda dia baru saja mempelajari kedua buku itu.

Maka, proses pembelian senjata yang biasanya ditutup rapat-rapat, saat itu ia beberkan. Perbincangan sekitar satu setengah jam itu amat menarik, hingga kami—Tomy Aryanto, Setri Yasra, Fanny Febiana, Yogita Lal, Qaris Tajudin, dan juru…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…