Bila Revolusi Melukai Sepak Bola

Edisi: 49/40 / Tanggal : 2012-02-12 / Halaman : 65 / Rubrik : OR / Penulis : Andy Marhaendra , ,

Jangan remehkan urusan jenggot. Akhir November tahun lalu, dalam sebuah wawancara, Fahid Ben Khalfallah mengungkapkan ingin mencukur rambut di dagunya. "Agar tak dikaitkan dengan Partai Ennahda karena saya tak paham partai politik berbasis agama," kata gelandang dari klub Bordeaux, Prancis, itu. Awal tahun ini, namanya terhapus dari daftar pemain tim Elang Carthage—julukan kesebelasan Tunisia.

Sami Trabelsi tak mengajak Ben Khalfallah ke Gabon dan Equatorial Guinea untuk mengikuti Piala Afrika, 21 Januari-12 Februari, meski si pemain berpredikat pencetak gol terbanyak kedua Tunisia saat kualifikasi. "Pemain tim nasional haruslah bersikap netral," kata pelatih Tunisia ini. Trabelsi tak ingin pandangan politik seorang pemain merusak soliditas timnya.

Ennahda adalah partai politik yang tengah berkuasa di Tunisia sekarang. Partai beraliran Islam moderat itu merebut simpati mayoritas rakyat yang sampai sekarang terbelah antara kelompok islamis dan sekularis. Mendung konflik horizontal menaungi negara dari Afrika Utara ini setelah tergulingnya rezim Presiden Zine el-Abidine Ben Ali pada awal 2011.

Atmosfer rumit semacam itu tak hanya hidup di dalam skuad Tunisia. Libya lebih karut-marut. Dari 16 tim yang tengah berlaga di Piala Afrika, Para Kesatria Mediterania –julukan tim Libya—menghadapi turnamen dengan pergolakan batin yang lebih dalam.

Langsung atau tidak langsung, banyak pemain senior terdepak dari tim karena menjadi pendukung mantan presiden Muammar Qadhafi. Kapten kesebelasan Tariq Ibrahim al-Tayib, misalnya, tak berani…

Keywords: -

---

Foto Terkait