Energi Anarki
Edisi: 50/40 / Tanggal : 2012-02-19 / Halaman : 56 / Rubrik : IMZ / Penulis : Nurdin Kalim,, Heru Triyono , Anwar Siswadi
Komunitas Punk, yang lahir di London, Inggris, pada 1970-an, telah memunculkan sub-budaya di sejumlah kota di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan anak muda yang dipelopori kelas pekerja itu merebak di kota-kota besar di Tanah Air, terutama Bandung dan Jakarta, sejak akhir 1980-an atau awal 1990-an. Awam mengenal komunitas ini hanya sebatas penampilan mereka: rambut seperti kipas, bertato, bertindik, dan mengenakan jins belel serta sepatu bot.
Mereka memang tampil beda, hingga terkesan berandalan. Kesalahan dalam memahami mereka inilah yang membuat sejumlah punker ditangkap dan "dibina" di Aceh pada Desember lalu. Padahal semangat independen atawa indie, berdikari, dan antikemapanan yang digenggam merekalah yang membuat komunitas ini berbeda. Dalam perjalanannya, semangat ini kemudian melahirkan kegiatan-kegiatan kreatif di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Tempo mencoba merekam sepak terjang komunitas yang menjadikan anarkisme (bukan kekacauan, tapi menolak tunduk kepada sistem) sebagai ideologi ini.
--------------------------------------------------------------------------------
Pemuda bertato itu sibuk dengan mesin jahit dan sulaman. Meski terkantuk-kantuk, tangan kekarnya tetap berfokus memutar roda mesin berulang kali. Sesekali ia mengisap asap tembakau dan menyeruput secangkir kopi yang masih mengepul. Seharian ia nyaris tidak beranjak, asyik memainkan pedal kaki mesin jahit seorang diri. "Ada banyak pesanan kaus mini untuk aksesori di mobil," kata Indra Pratama Lukiansyah, nama pemuda itu, kepada Tempo pada pengujung Januari lalu.
Indra adalah satu dari puluhan anggota Marjinal, perkumpulan punker yang dimotori band bernama sama. Dari sebuah rumah kontrakan di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, mereka melahirkan karya kreatif, seperti pakaian dan aksesori. Para punker ini memiliki pula workshop cukil kayu dan musik, juga membuka distroâdistribution outlet atau toko barang kreasi sendiri. Distro inilah yang dipakai untuk menyebarluaskan produk-produk mereka.
Menyulam dan bergelut di industri kreatif tampaknya bukan seperti punkâer yang selama ini kita bayangkan. Kebanyakan orang menganggap mereka pemuda yang senang berkumpul di perempatan, memakai pakaian aneh, bertato di sekujur badan, bertindik, mengamen, kumal, dan bau. Pokoknya, sangar. Kesan buruk itulah yang kemudian membuat polisi di Aceh pada Desember lalu merazia punker, membotaki, dan "membina" mereka.
Ada banyak kesalahpahaman tentang punk, memang. Kalaupun tidak memiliki pandangan negatif seperti itu, banyak juga yang menganggap punk sebatas genre musik dan gaya berbusana (fashion). Padahal punk…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegarawan, sumbangan terbesar…
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…