Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj: Nu Tidak Memboikot, Hanya Memberi Warning
Edisi: 30/41 / Tanggal : 2012-09-30 / Halaman : 132 / Rubrik : WAW / Penulis : Andari Karina Anom, Istiqomatul Hayati,
Dari Pondok Pesantren Kempek di Cirebon, Jawa Barat, kontroversi itu bermula. Awal pekan lalu, sekitar 1.200 orang menghadiri Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama. Ditutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertemuan ini menyodorkan sejumlah rekomendasi yang mengagetkan.
Salah satunya pemboikotan pajak. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyeru warga menghentikan pembayaran pajak jika pemerintah Indonesia tak amanah mengelola duit rakyat. Keputusan ini diambil setelah melihat berbagai penyelewengan dan korupsi pajak. Rekomendasi di atas memantik banyak reaksi bahkan dari âdapurâ Nahdlatul Ulama sendiri.
Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin, yang juga Rais Syuriah (Ketua Komisi Fatwa) NU, menganggap hal ini sebagai langkah mundur. Menurut Rais Syuriah, yang seharusnya dihukum adalah koruptor pajak, bukan sistem perpajakannya. Pertemuan Cirebon juga merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor yang melakukan kejahatan untuk kedua kalinya.
Banyak kalangan menilai forum Musyawarah Nasional Cirebon âmenyimpangâ dari semangat NU kembali ke Khittah 1926, yang menegaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harga mati. Ide boikot pajak berarti menentang konstitusi yang membolehkan negara memungut pajak. Rencana hukuman mati bagi koruptor juga tak dikenal dalam konstitusi kita.
Bukan kali ini saja NU menelurkan keputusan serta rekomendasi yang mengundang reaksi luas. Pada Musyawarah Nasional di Bagu, Nusa Tenggara Barat (1987), misalnya, organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mengeluarkan keputusan perempuan boleh menjadi presiden. Belum lagi semasa Abdurrahman âGus Durâ Wahid menjadi orang nomor satu NU.
Salah satu penerus Gus Dur di kursi Ketua Umum PB NU adalah Said Aqil Siroj. Ide-ide pluralisme dan toleransi antarumat beragama kerap dia sampaikan dengan bersemangat. âJangan hanya karena kasus Sampang lalu NU dianggap gagal bertoleransi,â ujarnya.
Dengan gesit dan lugas, ia menjawab pertanyaan wartawan Tempo Andari Karina Anom dan Istiqomatul Hayati serta fotografer Jacky Rachmansyah. Wawancara berlangsung selama dua jam lebihâdengan suguhan teh botol dinginâpada Selasa pekan lalu di kantor pusat PB NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Dalam Musyawarah Nasional PB NU di Cirebon muncul wacana boikot pajak. Apakah ini tak bertentangan dengan konstitusi negara yang membolehkan pemungutan pajak?
Sudah sering saya katakan, kewajiban membayar pajak tidak ada dalam Islam. Yang ada kewajiban membayar zakat. Di luar zakat, ada lagi nazar, fidiah, dan pungutan-pungutan syar'i lainnya. Tapi umat Islam di Indonesia wajib membayar pajak atau dhoribah dalam bahasa Arab karena kita wajib taat kepada pemerintah. Al-Quran menyuruh kita taat kepada Allah, rasul, dan ulil amriâmaksudnya pemimpin atau pemerintah. Bukan sembarang pemerintah, tapi yang kebijakannya prorakyat.
Dalam kacamata NU, apakah pemerintah Indonesia sekarang memenuhi syarat prorakyat?…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…