Alfred Simanjuntak Yang Membara
Edisi: 36/41 / Tanggal : 2012-11-11 / Halaman : 72 / Rubrik : MEM / Penulis : Dody Hidayat, Dian Yuliastuti, Cornila Desyana
Meski jalannya tertatih-tatih, Alfred Simanjuntak, satu-satunya komponis lagu perjuangan Indonesia yang tersisa saat ini, masih bersemangat. Nada bicaranya marcia, seperti tempo dalam lagu ciptaannya, Bangun Pemudi Pemuda, yang gesit dan tegas. Suaranya terdengar mantap di usianya yang pada 8 September lalu genap 92 tahun. Tempo menemui Alfred di kediamannya di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, dalam dua kali kesempatan, Selasa, 16 Oktober, dan Kamis ,24 Oktober lalu.
Mengenakan kemeja batik lengan panjang warna merah hati dan bermotif bunga putih, pantalon berwarna gelap, serta sepatu sandal, ia menyambut kami di teras rumahnya yang cukup asri dengan pekarangan yang ditanami rumput dan beberapa tanaman hias. Ia menyalami tamunya satu per satu sambil menanyakan nama dan asal daerahnya.
Begitu tahu ada yang berasal dari Jawa Tengah, kontan ia mengubah percakapannya dengan bahasa Jawa halus. Cukup lama ia menjelaskan pentingnya memahami bahasa Jawa, bahkan bagi orang non-Jawa. "Ini negara Jawa, semua presidennya dari Jawa. Sukarno, Soeharto, Susilo, oââ¬Â¦, oââ¬Â¦, oââ¬Â¦. Harus bisa bahasa Jawa." Ia tersadar begitu pembantu rumah tangganya mengingatkan untuk mengajak masuk tamunya.
Pria kelahiran Parlombuan, Tapanuli, Sumatera Utara, itu menyebut dirinya Jawa. "Saya tinggal di Surakarta, sekolah di tepi Bengawan Solo," ujarnya. Dari mulutnya langsung meluncur bait-bait lagu gubahan Gesang.
Mata istrinya, Alida Salomo, 76 tahun, yang duduk di kursi roda dan ikut menyambut, tak lepas menatapnya. Alfred mengaku tak ingat lagi kapan dan di mana ia pertama kali berjumpa dengan Alida. "Bagi saya, itu tak pentingââ¬Â¦, because I love youuuââ¬Â¦." Ia pun melantunkan penggalan lagu dengan suara baritonnya.
Sonia, cucunya yang menemani wawancara, mencolek lengan Alfred. "Sudah, ah. Opung Laki memang suka sekali memanjangkan akhir lagu," ujar Sonia. Alfred pun menyudahi "lengkingan"-nya. "Ah, disuruh berhenti. Kalau tidak, bisa tahan setengah jam ini," ujar Alfred menggoda cucunya yang tinggal bersamanya itu.
***
Saya lahir di keluarga yang sangat sederhana. Kampung saya berada di pelosok Tapanuli Utara. Desanya bernama Parlombuan, Kecamatan Pangaribuan, Sumatera Utara, daerah pegunungan yang dingin. Sewaktu kecil sampai saya berusia lima tahun, keluarga kami tak mengenal perabotan modern. Tidak kenal piring dan gelas, yang ada hanya batok kelapa. Berjalan kaki sejauh 15 kilometer sudah biasa karena tidak ada sepeda, apalagi mobil. Ketika pertama kali melihat mobil melintas di jalan, saya dan anak-anak lain berlari tunggang-langgang dan bersembunyi ketakutan di semak-semak. Tapi, puji Tuhan, saya berkesempatan menempuh pendidikan. Ayah saya, Guru Lamsana Simanjuntak, adalah guru jemaat gereja. Itu sebabnya saya bisa bersekolah di sekolah Belanda.
Ibu saya Kornelia Silitonga. Ia melahirkan kami delapan bersaudara. Saya anak tertua. Semua adik saya sekarang sudah tiada. "Tuhan, masih apa lagi yang belum saya kerjakan sebelum saya dipanggil?"…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…