Berebut Warisan Pelukis Magis
Edisi: 47/41 / Tanggal : 2013-01-27 / Halaman : 98 / Rubrik : SN / Penulis : Mustafa Silalahi, Pito Agustin Rudiana, Shinta Maharani
Bogem Wicaksono Adi alias Wiwik, salah satu putra pelukis Widayat, melayang ke kepala Iskandar. Luput. Wiwik hanya meninju angin karena Iskandar bergerak refleks dengan memiringkan kepalanya ke kanan. Iskandar, yang bertubuh lebih tinggi, memasang kuda-kuda hendak membalas pukulan itu. Namun anggota keluarga yang lain memisahkan mereka. Keduanya urung beradu jotos. Meski begitu, mereka tetap adu mulut.
Pada Kamis pukul 16.00 dua pekan lalu, Wiwik datang memimpin sebagian besar putra-putri Widayat. Turut serta dalam rombongan itu adalah Wardiningsih alias Ning, Anwar Hutomo Kusumo Wardoyo, Yuli Raharjo, Danang Wijayanto, dan Agung Wijonarko. Mereka semua adalah anak-anak dari kedua istri Haji Widayat. Turut pula Yoke Sapto Hudoyo, cucu Widayat. Sebelumnya, pada pukul 10 pagi, mereka berkumpul dan mengadakan rapat di sebuah tempat di Yogyakarta. \"Kami hanya ingin mengambil harta warisan kami,\" kata Yuli.
Wiwik, yang mantan direktur museum, saat tiba di museum yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Magelang, Jawa Tengah, itu segera meminta semua kunci pintu Museum Haji Widayat. Iskandar, pengurus rumah tangga museum dan terhitung masih paman Wiwik, mulanya enggan menyerahkannya. Ia menganggap Wiwik tak berhak meminta kunci karena ia bukan lagi direktur dan pemegang saham museum itu. \"Dia tamu yang kurang ajar,\" ujar Iskandar saat ditemui Tempo.
Haji Widayat adalah pelukis yang wafat pada 2002 dalam usia 83 tahun. Kedua istrinya, Soewarni dan Soemini, lebih dulu meninggal. Ia salah satu maestro Indonesia yang beraliran \"dekora-magis\". Widayat dalam kanvasnya sering menggambarkan tumbuhan, hewan, kapal Nuh, Adam-Hawa, ikan purba, dan sebagainya dengan detail dan warna-warna berat yang mengesankan suasana primitif atau purbawi. Unsur itulah yang kemudian membuat lukisannya disebut bercorak \"dekora-magis\". Ketika usianya semakin sepuh dan ketajaman matanya berkurang, kemampuan detailnya ikut menurun sehingga lukisan-lukisan yang bertahun 2000 kehilangan daya arkaiknya.
Walaupun demikian, harga satu buah lukisannya yang berukuran empat meter persegi mencapai miliaran rupiah di balai lelang. Lukisan periode 1970-1980-an dianggap yang paling kuat dan berharga tinggi. Untuk ukuran standar 90 x 130 sentimeter, lukisan dari periode itu bisa seharga Rp 400-600 juta. Selama hidup, Widayat telah menghasilkan sekitar 3.000 karya dalam bentuk lukisan minyak, akrilik, dan sketsa. Sebanyak 1.001 lukisannya dan lukisan seniman lain kini tersimpan di museum yang ia bangun pada 1994 itu.
Lukisan-lukisan inilah yang kini menjadi rebutan anak-anak Widayat. Sepuluh anaknya terpecah menjadi dua kubu. Widayat memiliki sebelas anak, tapi satu orang, Hendro Wardoyo, sudah meninggal. Putra Hendro yang bernama Yoke mewakilinya. Kubu pertama, kubu mayoritas yang dipimpin Wiwik, menginginkan lukisan tersebut dibagi-bagi untuk keluarga. Kubu kedua, dua anak Widayat yang tak setuju lukisan di museum dibagi karena lukisan-lukisan itu sudah menjadi milik museum…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.