Seorang Tionghoa Di Sebujur Indonesia

Edisi: 50/41 / Tanggal : 2013-02-17 / Halaman : 80 / Rubrik : KL / Penulis : Dewi Anggraeni, ,

Anda keturunan Tionghoa dan di bawah umur 20 tahun? Mungkin Anda ingat, mungkin tidak, masa-masa tahun baru Imlek harus dirayakan diam-diam, di rumah, di balik pintu tertutup. Situasi baru berubah pada 2000, sewaktu Gus Dur, segera setelah terpilih sebagai presiden, mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang diturunkan pemerintah Orde Baru, yang melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Sejak itu, tahun baru Imlek berkembang lebih meriah, bahkan dibanjiri wisatawan, setelah presiden selanjutnya, Megawati, mengangkatnya sebagai hari nasional, mulai 2 Februari 2003.

Baru 14 tahun lalu, seorang perempuan muda keturunan Tionghoa, yang dibantu datang ke Melbourne sesudah mengalami peristiwa mengerikan di Jakarta, melontarkan pertanyaan di antara senggukannya, ”Mengapa mereka begitu membenci kami? Apa kami benar-benar jahat? Sejahat itu?” Saya ingat tenggorokan saya bagai tersekat. Rasa putus asa membuat saya bisu sesaat. Keluguannya dalam dunia politik menambah keperihan pada nasib tragisnya.

Namun dia tidak sendirian dalam situasi ini. Selama 30-an tahun pemerintahan Soeharto, warga keturunan Tiong­hoa sudah begitu tersisihkan dari dunia politik. Maka kendati peraturan demi peraturan diberlakukan untuk membatasi ruang gerak mereka, pada umumnya mereka merasa beruntung diizinkan hidup dan tinggal di Tanah Air. Tentu ada segelintir yang tetap mengasah wawasan politik dalam dan luar negerinya, tapi mereka sangat berhati-hati mengutarakan pendapat dan sentimennya dalam obrolan ataupun diskusi yang berkaitan dengan politik. Di luar lingkungan kecil ini,…

Keywords: -

---

Foto Terkait