Agar Tak Kalah Oleh Neraca Perdagangan 1962

Edisi: 52/41 / Tanggal : 2013-03-03 / Halaman : 108 / Rubrik : KL / Penulis : A. Tony Prasetiantono, ,

Kendati perekonomian Indonesia bisa tumbuh 6,23 persen pada 2012—hanya kalah oleh Cina (7,7 persen) dan mengalahkan India (5,4 persen)—ada kenyataan getir yang tak bisa kita hindari. Untuk pertama kalinya sejak 1961, kita mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,63 miliar. Ini sungguh di luar perkiraan. Praktis tak seorang pun di kalangan pemerintah, Bank Indonesia, dan ekonom yang pernah membayangkan neraca perdagangan mengalami defisit.

Biasanya kita selalu mengalami surplus perdagangan. Pada 2011, kita masih membukukan surplus perdagangan sebesar US$ 26 miliar. Ekspor menembus rekor baru sekitar US$ 203 miliar, sedangkan impor juga mencapai rekor baru sebesar US$ 177 miliar. Bahkan, pada 2006 dan 2007, kita mencetak surplus perdagangan terbesar sepanjang sejarah, yakni US$ 40 miliar. Lalu bagaimana angka-angka yang impresif untuk ukuran Indonesia tersebut harus terkulai menjadi defisit, meski \"cuma\" US$ 1,6 miliar? Sepanjang 2012, ekspor kita sekitar US$ 190 miliar, kalah tipis dibanding impor sebesar US$ 191,67 miliar.

Tidak ada faktor tunggal penyebab defisit perdagangan. Yang paling banyak disebut adalah mesin ekonomi Indonesia \"kepanasan\" (overheating). Meski perekonomian global mengalami krisis, bahkan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Cina dan India terkoreksi tajam, Indonesia masih bisa mengandalkan permintaan domestik. Dalam komposisi pembentukan produk domestik bruto (PDB), biasanya belanja masyarakat menyumbang hampir 60 persen. Sepanjang konsumen di dalam negeri masih memiliki keyakinan atau percaya diri untuk membelanjakan uangnya, dijamin pertumbuhan ekonomi masih bisa dipacu setidaknya empat persen.

Tetap tingginya tingkat konsumsi…

Keywords: -

---

Foto Terkait