Prosesi Tengkorak Leluhur Karo

Edisi: 16/42 / Tanggal : 2013-06-23 / Halaman : 60 / Rubrik : SEL / Penulis : Soetana Monang Hasibuan , ,

Matahari bersinar terik, tapi panasnya tak kuasa menandingi dingin tiupan angin daerah di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut sekitar 100 kilometer sebelah selatan Kota Medan itu. Puluhan mobil berderet di kedua sisi jalan desa yang sempit dan berkelok-kelok. Para penumpangnya bergegas menuju sebuah jambur tempat bermulanya upacara penting yang digelar oleh keturunan Raja Sibayak Lingga di Tanah Karo, Kamis dua pekan lalu.

\"Mejuah-juah kita kerina.\" Kalimat dalam bahasa Karo yang artinya \"selamat sejahtera bagi kita semua\" itu terdengar dari arah jambur, bangunan serupa pendapa, di Desa Bintang Meriah, Kecamatan Kuta Buluh Simole, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di tengah jambur, belasan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, yang mengenakan pakaian khas Karo, rose, berdiri membentuk lingkaran. Di pusat lingkaran, Adri Istambul Lingga Gayo memimpin runggun atau rapat. Dari mulut dialah kalimat pembuka itu berasal.

Peserta runggun adalah kaum kerabat yang terdiri atas tiga elemen: sembuyak atau sukuk (keturunan dari anak laki-laki), kalimbubu (golongan semarga dari pihak ibu), dan anak beru (keturunan dari anak perempuan). Runggun ini merupakan penegasan dari runggun yang digelar tiga bulan sebelumnya, yang meminta saran, pendapat, dan persetujuan keluarga besar Sibayak Lingga untuk menggelar prosesi ngampeken tulan-tulan leluhur mereka: Raja Senina Lingga, yang mangkat 400 tahun silam.

Ngampeken tulan-tulan berarti meletakkan tulang-belulang orang yang sudah dimakamkan ke tempat yang lebih baik, yakni di atas para atau plafon geriten, bangunan seperti gazebo. Khusus untuk Raja Senina Lingga, tulang yang tersisa hanya tengkorak yang disimpan selama 63 tahun di dalam kurung manik atau rumah persinggahan. Tengkorak itu diselamatkan oleh keturunannya ketika terjadi amuk massa anti-kerajaan pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia…

Keywords: -

---

Foto Terkait