Pasien Istimewa Dokter Istana

Edisi: 47/42 / Tanggal : 2014-01-26 / Halaman : 60 / Rubrik : MEM / Penulis : Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari,


Beragam pasien sudah saya tangani selama menjadi dokter, tapi ada beberapa yang selalu saya ingat. Pada akhir Mei 1982, Letnan Jenderal (Angkatan Darat) dr Rubiono Kertopati, Ketua Lembaga Sandi Indonesia merangkap ketua tim dokter ahli kepresidenan, memperlihatkan dokumen medis seorang pasien berikut hasil tes laboratorium, sambil menceritakan keluhan si pasien, yang saat itu identitasnya anonim. Setelah melihat, saya bilang, "Operasi." Tim setuju. Sehari sebelum operasi, saya kaget sewaktu diberi tahu nama pasien anonim tersebut: "Kok, Pak Harto…."

Saya dipilih mengoperasi Pak Harto karena waktu itu saya satu-satunya urolog di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Toh, tim masih ragu terhadap saya, yang baru lulus enam tahun. Akhirnya, profesor yang membimbing saya, Pieter Donker, diundang. Juga guru besar saya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Oetama. Dia melihat apa yang saya lakukan saat menjalankan operasi tersebut. Operasi reseksi transuretral prostat tersebut berhasil. Operasi dilakukan pada 14 Juni 1982 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.

Pak Harto bukan pasien yang rewel. Beliau juga menganjurkan semua menteri mau dioperasi di Indonesia. Saya pernah mengoperasi Pak Subroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), juga Solihin G.P. (mantan Gubernur Jawa Barat). Belakangan saya baru tahu, beberapa bulan sebelum saya mengoperasi Pak Harto, keluarga saya diinvestigasi. Mereka pun ditanyai. Maklum, pada 1980-an, aturan "bersih lingkungan" masih sangat keras.

Setelah operasi 1982 tersebut, hubungan saya dengan Pak Harto dan keluarga akrab. Tak jarang Pak Harto memanggil saya untuk sekadar ngobrol. Beliau suka bercerita macam-macam, terutama saat bergerilya melawan Belanda. Pada Maret 1983, saya diangkat menjadi anggota tim dokter ahli kepresidenan khusus bidang urologi. Kemudian pangkat saya dinaikkan menjadi laksamana pertama. Kami tidak menerima gaji, tapi mendapat honor. Biasanya kami diperbolehkan membeli mobil secara angsuran dengan honor tersebut, tanpa pajak. Saya sempat kebagian empat mobil. Tapi saya selalu memilih mobil biasa, seperti Taft, supaya tidak nombok.

Selain itu, undangan kenegaraan selalu kami terima, misalnya perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka dan Idul Fitri. Biasanya, sebulan sebelum puasa Ramadan, kami menerima bingkisan yang isinya bahan setelan jas untuk saya serta selembar kain batik, selendang, dan bahan kebaya untuk istri saya. Toeti kurang senang pada "seragam", jadi tak dia pakai. Namun, pada 1995, ia mengenakan kebaya dari Cendana. Sewaktu bersalaman, Bu Tien langsung berkata, "Nah, begitu dong, dipakai bajunya, cah ayu."

Pada 1994, Pak Harto mengeluhkan sakit perut sebelah kanan. Saat itu anak-anaknya sudah berkuasa, sangat berbeda dengan situasi pada 1982. Tutut (Siti Hardijanti Rukmana), anak sulung Soeharto, sudah menjadi Ketua Golkar. Dia menentang operasi yang saya sarankan. Sedangkan saya ngengkel karena batu ginjal yang cukup besar dan beberapa yang kecil sudah mengganggu aktivitas beliau sehari-hari.

Namun saat itu operasi belum mungkin dilakukan karena beberapa hari kemudian, pada 16 Agustus, Pak Harto harus berpidato di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat. Saya kemudian menawarkan kepada tim dokter agar Pak Harto diberi obat antisakit, dan disetujui. Selain itu, sewaktu berpidato, ada kursi kecil yang tak tampak dari pandangan hadirin, sehingga Pak Harto tidak sepenuhnya berdiri, tapi setengah duduk. Setelah itu, kembali dibahas, apa yang harus dilakukan untuk kesehatan Pak Harto. Saya tetap mengusulkan operasi. Semua anggota tim, yang berjumlah 37 orang, setuju. Pak Harto juga setuju.

Kemudian tim dokter memberi tahu keluarga. Ketua tim, Dr Frans Pattiasina, datang ke rumah Tutut, dan anak sulung Pak Harto ini menyatakan belum bisa memberikan jawaban. Ia akan minta second opinion dari urolog Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Esoknya, tim dokter bertemu dengan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…