Wakaf Di Tengah Kota
Edisi: 24/43 / Tanggal : 2014-08-17 / Halaman : 48 / Rubrik : IMZ / Penulis : Erwin Zachri, Kartika Candra,
IA bukan pemain sepak bola, tapi orang memanggilnya Pele. Bertubuh relatif kecil, dengan tinggi 160-an sentimeter, bercelana buntung, dan berbaju kaus, sulit membayangkan pria bernama asli Heriyanto ini menguasai kawasan strategis di sekitar Pasar Tanah Abang.
Namun gaya bicaranya yang tegas dan "irit kata" menyiratkan "dominasi" pria 39 tahun ini atas sebidang tanah luas dan "anak wilayah" di kawasan itu. Anak wilayah adalah sebutan untuk anak muda yang menguasai lahan di Tanah Abang. Di balai-balai di sudut perparkiran di samping Rumah Susun Tanah Abang, Tempo berbincang panjang dengannya.
Bermitra dengan Yayasan Wakaf Said Na'um, Pele mengelola lahan milik Yayasan seluas sekitar 7.000 meter persegi dari 2,7 hektare. Lokasinya yang tak sampai 1 kilometer dari Pasar Tanah Abang membuat lahan ini jadi incaran berbagai pihak, terutama pebisnis yang tak memiliki lahan cukup dan pengunjung Pasar Tanah Abang yang selalu meluber. Terlebih lokasinya di tepi jalan strategis, KH Mas Mansyur.
Sejak mereka bermitra empat tahun lalu, lahan itu kini telah menjadi mesin uang. Awalnya cuma perparkiran, lahan itu kini telah berubah menjadi unit-unit bisnis, seperti penyewaan gudang, lahan parkir truk ekspedisi, tempat pencucian mobil dan sepeda motor, serta pasar kaget Tasik setiap Senin dan Kamis. "Per tahun menghasilkan Rp 3 miliar lebih," ujar Pele ketika didesak soal mesin uangnya.
Untuk mengamankan lahan itu, Pele mengerahkan 45 anak wilayah. Sebanyak 24 orang mengamankan wilayah setiap hari dan sisanya mengamankan saat digelar pasar Tasik. "Masuknya anak wilayah di sini bagus buat Yayasan. Minimal ada rasa memiliki Said Na'um," kata Pele. Bukan hanya itu, kepopuleran namanya sebagai penguasa kawasan tersebut membuat Pele kebanjiran proposal santunan dari masjid-masjid, terlebih saat bulan Ramadan.
Direktur Eksekutif Yayasan Wakaf Said Na'um, Ismail Salim, enggan menanggapi besarnya setoran Pele ke Yayasan. "Kami terima bersih saja," ujarnya. Ia juga mengarahkan pihak-pihak yang meminta bantuan Yayasan untuk mendatangi Pele sebagai pengelola unit usaha. "Dulu mereka ke sini, tapi setelah tahu, mereka ke sana (Pele)," ucapnya. Ismail tutup mulut mengenai model kerja samanya dengan Pele, tapi ia bercerita banyak tentang tanah luas berstatus wakaf itu.
Menurut Ismail, lahan yang ditempati Yayasan itu dulu diwakafkan oleh Said Na'um, kapitan asal Hadramaut, Yaman, di zaman Hindia Belanda. Kapitan adalah istilah yang diberikan pemerintah Hindia Belanda kepada orang yang mewakili suatu etnis.
Berawal dari rasa prihatin karena tanah buat pemakaman kaum muslimin sudah terbatas, pada 1844 Said Na'um mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membeli tanah di lokasi tersebut. Tanah seluas 6 hektare untuk diwakafkan. Setelah disetujui, tanah itu dibagi dua: 2,7 hektare untuk pekuburan muslim keturunan Hadramaut dan sisanya, 3,3 hektare, untuk pekuburan pribumi.
Pada 1974, Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan keputusan bahwa tidak boleh ada…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegarawan, sumbangan terbesar…
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…