Politik Cabai

Edisi: 40/43 / Tanggal : 2014-12-07 / Halaman : 124 / Rubrik : LAPSUS / Penulis : TIM LAPSUS, ,


SETELAH setengah jam menembus hutan pekat yang didominasi pohon aren, langit kembali terbuka. Kami sampai di kebun milik Jemi Pandei dan istrinya, Thris Pontoan, di Kokoken, Kelurahan Tara-Tara III, Tomohon. Lebih dari dua ribu perdu cabai rawit setinggi paha menghampar di lereng curam kaki Gunung Tatawiran, anak Gunung Lokon, berbatasan dengan hutan kelapa yang pucuknya menggaruk langit. Di samping kanan dan kiri, tertanam jagung, ubi, pisang, cengkeh, dan pala. Ini gudang makanan khas Minahasa, etnis mayoritas di Sulawesi Utara.

Sore itu, akhir bulan lalu, sang empunya kebun memanen cabai rawit, pekerjaan yang dilakoni setiap pekan. Cabai—di sana disebut rica—mudah tumbuh di wilayah setinggi 600 meter di atas permukaan laut itu. Hanya dengan satu liter bibit, Jemi bisa membentang rica di lahan seluas setengah hektare tanpa pupuk atau karbit. Menghirup aromanya saja air mata saya menetes.

Hasil panen dijual ke Pasar Beriman Tomohon, pasar terbesar di Kota Tomohon, 45 menit dari Manado. Rata-rata, setiap pekan, mereka bisa memetik 25 kilogram. "Dan pasti ludes," ujar Thris. Jangankan 25 kilogram. Pedagang di pasar Tomohon, Manado, dan Tondano bisa menjual 40-90 kilogram cabai setiap hari. "Bagi kami, rica itu sama pentingnya dengan garam," kata Jenny Karouw, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara.

Ada dua sumber makanan Minahasa. Dari hutan pedalaman, mereka mendapatkan sayuran, satwa liar, dan ikan air tawar. Dari pesisir, ada ikan laut, kerang, dan udang. Meski berbeda bahan, rasa keduanya sama-sama menyengat karena lumuran rica. Bahkan pisang goreng pun dimakan dengan sambal. "Kalau tak makan rica tak kenyang," ujar Johanis Wajong, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Sulawesi Utara.

Makanya cabai selalu diburu, walaupun harganya melampaui Rp 100 ribu per kilogram. Setiap bulan, penduduk Sulawesi Utara menghabiskan 200-800 ton cabai, atau 15 gram per hari untuk satu orang, yang dipasok sekitar 30 ribu petani. Karena stok lokal sering kurang, cabai harus dikirim dari Gorontalo, bahkan Jawa Timur.

Rica sebenarnya asalnya bukan tumbuhan asli Sulawesi Utara. Kedatangan cabai tidak bisa dilepaskan dari perebutan pengaruh di jalur perdagangan rempah-rempah kala itu, antara Portugis dan kesultanan di Ternate. Pada 1563, Sultan Khairun dari Ternate bermaksud menguasai Sulawesi Utara dan mengislamkan penduduknya. Rencana Sultan dengan mengirim anaknya, Babullah, ini diketahui Portugis dan membuat mereka berusaha sampai lebih dulu ke Sulawesi Utara.

Sebagaimana ditulis oleh Dr Th. van den End dalam buku Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia, Portugis mengirimkan pasukan dengan dua kapal kora-kora ke Manado. Di kapal itu terdapat Pater Magel Haes. Dialah yang kemudian membaptis Raja Manado dan rakyatnya. Menurut sejarawan dan budayawan Minahasa, Fendy E.W. Parengkuan, saat datang ke Sulawesi Utara itulah Portugis mengenalkan tomat.

Pada 1570,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…