Pelarian Knil Berbintang Gerilya

Edisi: 19/20 / Tanggal : 1990-07-07 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


SAYA lahir di Den Haag, Belanda, pada 1925, sebagai anak nomor satu. Di pojok Jalan Van Dijk Straat, di atas satu toko penjual rokok. Saya ingat di jalan itu, waktu saya umur 4 tahun, tinggi curah saljunya sampai di dada.

Bapak saya, Arnoldus Petrus Paulus Princen, guru melukis di sekolah. Waktu itu Den Haag satu-satunya kota yang bisa memberi kesempatan orang untuk belajar melukis. Dia pernah ke Indonesia. Ia mau dikatakan seniman ya seniman, karena di samping guru melukis ia suka melukis sendiri juga.

Ibu saya, Theresia Maria Anna Princen Van Der Lee, orang biasa, "tapi dia suka protes ini-itu." Ibu juga mencoba menulis buku dan sajak. Tulisannya kecil-kecil tapi rapi. Sajak-sajaknya kemudian, setelah dia meninggal, tidak sengaja selalu ada di laci saya. Dia menulis satu sajak protes, yang kalau saya nilai tidak terlalu punya nilai artistik. Protes terhadap penyerangan Italia pada Albania dan Etiopia oleh Mussolini.

"Di taman berdiri seorang yang kecil, pendek, dan berotot," tulisnya, menggambarkan. Mussolini kan begitu. "Dunia ini mesti bergetar untuk kekuatan fasis. Rakyat kita mesti menjadi satu kekuatan. Kemudian orang-orang mulai menyoraki dia, orang yang senang berperang." Sebagai seorang ibu, pada 1935 dia juga mengimbau para ibu yang lain, hitam, cokelat, atau putih, "Bersatulah kita semua, karena kita merupakan suatu kekuatan tersendiri, hilangkan fasisme." Dus, orangtua saya adalah orang-orang begituan, sosialis-demokrat, dan menjadi anggota partai sosialis Barat, SDAP (Sociaal Demokratische Arbeiders Partij).

Ibu pernah menulis buku yang kemudian disita jaksa agung Belanda dulu. Tentang keadaan sebuah kota kecil, di sana didirikan sebuah pabrik mentega besar. Para petani - seperti yang sering terjadi juga di Indonesia -- lalu lari ke pabrik itu, mengabaikan pekerjaannya sendiri sebagai petani. Akhirnya mereka jatuh ke bawah kekuasaan kapitalis. Buku itu berjudul Reorganisasi.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Tengkorak. Kemudian diketik oleh adik saya. Di sampulnya ditulis silsilah keluarga. Waktu reuni, buku ini dibagikan masing-masing satu eksemplar, supaya semua tahu, ibu kami pernah menulis buku. Anehnya, dalam buku itu tertulis ayah dan kakek saya adalah orang yang pernah melarikan diri dari tentara. Dan bertahun-tahun dikejar-kejar dan dicari oleh polisi, marsose. Yang persis seperti dia adalah saya -- yang juga suka menulis sajak yang diburu dan dikejar-kejar oleh Belan da. Famili saya begitu juga. Jadi, memang aneh.

Saya hanya setahun di HBS -- Belanda -- karena saya mau belajar di seminan, atas kemauan sendiri. Setelah diterima, tahun 1939, kemudian saya berangkat, bertepatan harinya dengan saat Jerman menyerang Polandia. Pada 1943 saya tinggalkan seminari itu. Saya kembali ke Den Haag, karena merasa tidak senang di seminari. Kenapa? Pada suatu ketika dalam kehidupan setiap lelaki ada momentum saat dia menemui atau mengetahui bahwa dia seorang lelaki. Problem saya sebagai pubertas mulai, yah, saya mengalami kesulitan, kalau akhirnya saya diharuskan hidup tanpa wanita. Sebagai anak puber, wanita itu saya bayangkan sesuatu yang indah, yang luar biasa.

Saya harus melanjutkan pelajaran untuk melanjutkan ujian masuk universitas. Tapi ketika itu negara saya diduduki Jerman, saya sangat anti-Jerman. Saya sangat tertekan. I want to do something. Barangkali itulah yang selalu menjadi sikap hidup saya. Bahwa saya tidak mau pasif. Bahwa saya harus turut, saya tidak puas kalau saya tidak bisa melawan Jerman.

Permulaan 1944 saya berusaha lari ke Inggris untuk turut melawan Jerman. Tapi di tapal batas Belgia saya ditangkap, karena saya sangat tolol. Lebih tolol lagi setelah ditangkap dan ditanya Jerman, "Kamu mau apa?" Saya menjawab, "Mau lari." Kenapa mau lari? Jawab saya, "Karena saya mau melawan Saudara."

Saya ditahan sampai akhir perang. Dimasukkan di penjara-penjara di kamp konsentrasi Jerman yang ada di Belanda. Akhir perang saya dibawa ke Jerman. Tidak tahu untuk apa, mau dimusnahkan atau tidak, pendeknya saya dibawa ke satu penjara di Jerman, sampai kemudian dibebaskan tentara Amerika.

Setelah itu saya kembali ke Belanda. Saya melaporkan diri sebagai sukarelawan karena bagian utara Belanda waktu itu masih diduduki Jerman. Enam bulan sesudah pembebasan Belanda 1945 itu, saya keluar dari utara dan beberapa bulan kemudian, pada 1946, saya dipanggil kembali masuk wajib militer. Setelah masuk itu baru diketahui bahwa kami akan dikirim ke Indonesia. Saya tidak mau. Saya lari ke Prancis. Dari tahun 1946 itu saya di Prancis.

Di Prancis saya ketemu dengan orang-orang yang antiperang. Selama di sana saya berkenalan dengan filsafat eksistensialisme, dari grup penulis, teman-teman saya. Filsafat itu mengajar kita bahwa "nasib hidup kita ini kita bikin sendiri, jangan mau terima saja". Kita membikin diri kita sendiri, membikin sekitar kita sendiri. Sekitar kita ini kan akhirnya mempengaruhi kita kembali. Itu ajaran Sartre.

Akhir 1946 saya mendengar ibu saya sakit keras. Saya kembali ke Belanda. Tapi di tapal batas saya ditangkap dan dimasukkan kamp tahanan khusus untuk orang yang tidak mau ke Indonesia. Mereka berjanji, kalau kami mau berangkat ke Indonesia, kami tidak akan dihukum. Oleh karena saya mau ketemu orangtua saya dan barangkali sudah ada rencana yang lebih jauh, saya bilang oke, saya mau berangkat.

Di Indonesia saya kembali ke pasukan saya di Negeri Belanda dulu. Semuanya tentu heran, "Kok, kamu bisa kembali, kamu kan lari ke Prancis? "Ya," jawab saya, "saya hanya serdadu, saya kan tidak tahu. Yang saya tahu surat-surat keterangan kami waktu di kapal semua dibuang ke laut."

Pasukan saya di Bogor adalah pasukan palang merah. Tetapi mereka tak tahu saya mau diapakan. Lalu kapten saya bilang, "Yah, kamu belajar saja jadi sopir." Saya pun belajar jadi sopir. Tentu saja kemudian lebih banyak melihat wanita daripada belajar. Karena tidak diberi tugas yang terlalu khusus, saya juga belajar bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Jengkel, saya di sini tapi tidak bisa ngomong dengan orang. Mungkin karena otak masih encer, saya bisa cepat bergaul dengan orang.

Pada 1947, saya masih turut dengan gerakan militer pertama. Saya bagian Bogor-Sukabumi. Di Sukabumi saya berkenalan dengan Aoh K. Hamidjaya, saudara Ramadhan K.H. Saya lupa bagaimana asal mulanya -- mungkin melalui majalah Gema Suasana -- saya mendapat nama seperti Aoh dan Chairil Anwar. Aoh kan orang religius, religius dalam hati, bukan orang yang sembahyang lima waktu, tapi dia orang yang percaya pada Tuhan dan, ya, orang yang berpikir dan menulis sajak. Saya yang mencari Aoh dan kami bisa ketemu. Saya diterima di rumahnya dan dia tidak terlalu takut. Biasanya kan republikan takut menerima militer Belanda di rumahnya. Kami berbicara mengenai Sartre. Kami cerita tentang penulis-penulis Belanda yang pernah dia baca. Jadi, sangat menawan, saya bisa mengerti. Problem Indonesia juga saya bicarakan.

Di Sukabumi saya dibawa ke pengadilan militer. Pada Oktober-November 1947 saya diadili dengan dakwaan melarikan diri ke Prancis. Akhirnya saya dihukum karena itu. Saya dipenjara 4 bulan di Cipinang. Dalam 4 bulan itu saya menulis buku harian.

Keluar dari penjara, saya dipindahkan ke Purwakarta. Di Purwakarta, entah karena si Aoh, saya berkenalan dengan grup Dodom Prawiramihardja. Saya mendapat kesempatan untuk pergi ke mana-mana. Pulang-balik Cirebon-Jakarta. Kepergian saya ke Jakarta karena kapten saya itu membutuhkan penerjemah dan kebetulan saya bisa bahasa Indonesia. Jadi, saya sering diberi kebebasan pergi ke sana-kemari. Komandan saya kapten itu juga sudah mengerti, "Aaaah, anak itu jangan terlalu banyak didisiplin, karena kalau banyak dipake disiplin makin susah dia," katanya. Dia pikir orang seperti saya perlu kebebasan.

Jadi, asal bebas. Dia menghubungkan kebebasan itu dengan seks. Padahal, kebebasan itu saya pakai untuk bertemu dengan grup di sekitar Chairil Anwar di Senen. Kami banyak minum kopi dan saya banyak belajar kenal dengan seniman Senen: Bahrum Rangkuti, Balfas, si Chairil dan Asrul Sani dan sebagainya. Saya juga belajar kenal dengan Dolf Verspoor, seorang yang menerjemahkan sajak-sajak Chairil ke dalam bahasa Belanda. Ia seorang penerjemah yang baik.

MENYEBERANG

Kami sering bicara mengenai eksistensialisme dan sajak-sajak. Saya bilang kepada salah satu dari mereka, "Kenapa kamu hanya menulis sajak-sajak. Bukan sajak itu tidak bagus, Krawang Bekasi, misalnya, tapi mengapa kamu tak berbuat. Kamu sendiri bagaimana? Saya pikir kalau kebenaran ada di pihakmu, saya akan memilih." Itu kejadian…

Keywords: Johannes Cornelis PrincenArnoldus Petrus Paulus PrincenTheresia Maria Anna Princen Van Der LeeAoh K. HamidjayaDodom PrawiramihardjaKemal IdrisBambang SinggihAli SastroamidjojoLukas Kustaryo Daeng
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…