Sejak Muda Tokoh Nonkooperatif

Edisi: 25/20 / Tanggal : 1990-08-18 / Halaman : 51 / Rubrik : MEM / Penulis :


Mr. T.H. Moehammad Hasan, 84 tahun, menerima gelar "Doktor Honoris Causa"
dalam bidang ilmu hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara (USU), 28
Juli 1990. Bekas Gubernur Provinsi Sumatera dan Wakil Ketua Pemerintah Darurat
Republik Indonesia ini berjasa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebagai
anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ia telah menjadi
penengah ketika hampir tejadi kebuntuan dalam menetapkan UUD kita. Atas
permintaan TEMPO, berikut ini sebagian riwayat hidupnya.

; SEPERTI lazimnya anak-anak dulu di daerah saya, sekolah saya dua. Sekolah
agama dan SD di Kampung Lampoih Saka, Sigli. SD itu dulu disebut sekolah
rakyat. Di sekolah rakyat saya hanya dua tahun, lalu pindah ke ELS,
Europeesshe Lagere School, sekolah untuk anak raja. Maksudnya anak bangsawan,
begitu.

; Sebab, bapak saya seorang bangsawan, Teuku Bintara Pineueng Ibrahim. Bintara
itu jabatan, uleebalang. Dan Pineueng nama daerah. Uleebalang itu punya
kekuasaan mengatur perdagangan dan tentara. Ibu saya Cut Manyak, putri Tengku
Mahmud, seorang kadi atau hakim agama di Kemangan.

; Di ELS saya masuk kelas nol, meski sudah dua tahun di sekolah rakyat. Tapi
pelajarannya sama dengan kelas satu. Begini. Kelas nol dan satu disatukan
dalam satu ruangan. Gurunya satu, seorang nyonya Belanda. Jadi, kalau dia
mengajar, menengok ke kanan, itu kelompok kelas satu. Menengok ke kiri,
kelompok kelas nol. Yang dipelajarkan ya sama saja.

; Murid ELS anak-anak bangsawan dan orang terkemuka. Anak Belandanya cuma dua
ekor ha-ha-ha .... Anak residen dan kontrolir Sigli. Ada beberapa anak Indo,
yaitu anak orang Manado dan Ambon yang jadi tentara Belanda dan berpangkat
tinggi.

; Dari kelas nol saya naik ke kelas dua. Tak lewat kelas satu. Kan kelas nol
dan satu pelajarannya sama. Setelah tujuh tahun sekolah, dari 1917 sampai
1924, saya ditawari ujian di Betawi. Bukan karena saya paling pintar, tapi
karena yang lain-lain tidak mau. Mestinya, bila saya tak ke Betawi, saya
melanjutkan ke MULO, SMP zaman Belanda, di Kutaraja. Dan masuk MULO tak usah
ujian. Saya lulus tes di Betawi, maka saya masuk KWS, Koningin Wilhelmina
School. Ini juga sekolah raja-raja, namanya saja pakai Wilhelmina, ratu
Belanda. KWS itu umpama sekarang sekolah teknik, STM. Di sini banyak indonya.

; Waktu itu dari kampung saya di Sigli untuk ke Betawi mesti ke Medan dulu,
naik mobil. Dari Medan naik kapal tiga hari baru sampai ke Betawi atau Jakarta
sekarang ini. Saya sempat singgah di Singapura.

; DI KWS saya memilih jurusan sipil basah, bikin jembatan dan semacamnya. Saya
tinggal di asrama Yayasan Jan Pieterzoon Coen, di Jalan Guntur sekarang.
Bayarnya banyak, 51 gulden sebulan, karena ini asrama Belanda. Waktu itu
indekos di kampung-kampung rata-rata 15 gulden, kalau rumahnya bagus 25
gulden.

; Di asrama bertingkat dua itu banyak anak MULO-nya. Nah, saya belajar
pelajaran yang tidak diberikan di KWS lewat buku-buku anak-anak asrama itu. Di
sekolah teknik KWS itu tak ada pelajaran bahasa Inggris, Prancis, Jerman
hitung dagang, sejarah, botani. Saya belajar itu semua lewat buku-buku,
gratis. Kalau tak paham, umpamanya pronunciation, saya tanya teman-teman.
Untuk itu semua, saya terpaksa mengorbankan olahraga.

; Di asrama semua urusan kami diurus asrama. Saya tidak tahu berapa gulden
orangtua saya mengirim uang. Yang saya tahu, 50 gulden untuk uang asrama, dan
1 gulden untuk kesehatan, tahu-tahu, sekali tiap bulan saya dipanggil pengawas
asrama. Diberi uang saku 10 gulden. Wah, itu jumlah yang banyak. Orangtua saya
kan kaya.

; Waktu itu tiap malam Minggu saya dan teman-teman nonton bioskop di Dieren
Tuin, kebun binatang, yang sekarang ini jadi Taman Ismail Marzuki di Jalan
Cikini. Jadi, dari Jalan Guntur naik sepeda ke Cikini, ramai-ramai.

; Meski itu Dieren Tuin, tiap malam Minggu ada bioskopnya. Kami abonemen,
langganan, bayar tiap bulan, murah. Dan nontonnya tiap malam Minggu. Hanya
malam Minggu, sebab asrama selalu sudah ditutup pada jam sebelas malam lampu
dimatikan semua. Harus tidur. Tapi di malam Minggu ada ekstra, asrama buka
sampai jam satu.

; KWS itu di SMA I Budi Utomo sekarang. Sekali atau dua kali tiap minggu kami
memakai pakaian kerja hijau, khusus untuk praktek. Sudah seperti bekerja
sesungguhnya. Misalnya praktek membuat jembatan, ya benar-benar kami bikin
jembatan, tapi kecil.

; Kira-kira tiga tahun kemudiari saya minta izin ikut ujian ekstra MULO.
Sebab, cita-cita saya masuk ke perguruan tinggi. Lulusan KWS tak boleh
langsung ke perguruan tinggi, tapi mesti kerja dulu. Dengan ijazah MULO saya
bisa langsung masuk AMS, SMA zaman Belanda Dan dari AMS ke perguruan tinggi.
Direktur mengizinkan, mungkin karena prestasi saya di KWS baik.

; Persoalannya, waktu itu di Jakarta sedang tak ada ujian MULO. Yang ada di
MULO Douwes Dekker di Bandung. Saya diizinkan ke Bandung. Waktu itu yang ikut
ujian 13 orang, dan saya satu-satunya dari Jakarta. Tiga hari saya di
Bandung, untuk ujian dan sekalian menunggu pengumuman. Wah, yang lulus hanya
satu, yaitu saya.

; Saya senang sekali, dan langsung saya memberi kabar ke Jakarta. Direktur
saya, Zurklein-scamid, rupanya ikut senang. Ketika saya kembali ke Jakarta dia
bikin pesta makan malam untuk saya.

; Karena saya sudah punya ijazah MULO, suatu kali saya membicarakan ini dengan
direktur. Ini ide nakal-nakalan. Saya bilang saya tak mau sekolah lagi. Saya
mau masuk AMS. Jawab direktur, anak-anak tak boleh begitu, tak boleh
merugikan diri sendiri. Bahwa saya hanya perlu menunggu setahun lagi. Jadi,
jangan pindah. Teruskan dulu.

; Ia lalu berpetuah. Kalau lulus KWS, saya memiliki jaminan hidup. Kalau ada
apa-apa dengan orangtua saya, saya bisa kerja. Takdir itu tak dapat ditebak,
katanya. Teruskan saja setahun lagi, kata dia.

; Setahun kemudian, 1928, saya lulus nomor satu dari KWS. Karena nomor satu,
saya langsung ditawari pekerjaan. Yang ditawari pekerjaan dua. Yaitu saya dan
yang lulus nomor dua, anak Ambon, kalau tak salah nama dia Sahanaya. Saya
janjikan gaji 110 gulden sebulan. Waktu itu uang sebanyak itu termasuk cukup.

; Tapi saya tidak mau. Saya kan punya ijazah MULO, dan punya rencana masuk AMS,
kemudian ke perguruan tinggi. Saya bilang kepada insinyur yang menawari kerja
itu, yang jadi guru saya, "Terima kasih." Saya masih ingin mencari ilmu,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…