Penjara Rohingya Bertepi Laut

Edisi: 15/44 / Tanggal : 2015-06-14 / Halaman : 100 / Rubrik : LAPUT / Penulis : Purwani Diyah Prabandari, Imran M.A.,


SUASANA tempat istirahat orang-orang Rohingya dan Bangladesh di Kuala Langsa, Aceh Timur, agak sepi pada Selasa malam dua pekan lalu. Hanya beberapa anak muda terlihat rebahan. Beberapa orang mengobrol santai. Sebagian besar sedang sembahyang isya. "Assalamualaikum," Zaidul Haq menyapa.

Pria 25 tahun ini mengaku meninggalkan istrinya, Mominah Begam, 23 tahun, dan tiga anaknya-Nur Habibi, 7 tahun, Ronjambibi, 5 tahun, dan Ainamul Haq, 1 tahun 8 bulan-di kamp pengungsi (internally displaced persons) di pinggiran Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Negara bagian ini dulu dikenal dengan nama Arakan dan merupakan kawasan dengan populasi Rohingya paling tinggi di Myanmar, yang totalnya mencapai sekitar 1,2 juta orang. Zaidul dan adiknya, Manu, 18 tahun, berniat ke Malaysia. Namun di Kuala Langsa itulah mereka terdampar.

Zaidul, salah satu dari 257 pengungsi asal Myanmar di Kuala Langsa, beberapa waktu kemudian mengisahkan petualangannya berbulan mengapung dari Teluk Benggala dan Laut Andaman hingga terdampar di Aceh. Ia bersyukur bisa tiba di Aceh dengan selamat karena kondisi di kapal mengerikan. Mereka kelaparan dan kehausan. Terkadang terjadi perkelahian antara orang Rohingya dan orang Bangladesh berebut sisa air minum saat sudah di Selat Malaka. Korban pun berjatuhan.

Zaidul bepergian bersama adiknya dan banyak tetangganya dari Sittwe. Di antaranya Rafiqa, 8 tahun, yang terpisah dari kakaknya, Jakar Husain, 13 tahun, saat mereka berlompatan ke laut ketika kapal nelayan datang ke kapal mereka.

"Saya berharap mendapatkan kehidupan lebih baik ketimbang hidup di kamp pengungsi di sana bertahun-tahun, dengan hanya bisa menikmati beras bantuan," Zaidul menjelaskan alasannya. "Lagi pula untuk beraktivitas di sana serba sempit."


****

PANAS matahari begitu menyengat di kawasan muslim-Rohingya dan Kaman-di pinggiran Sittwe (warga setempat menyebutnya Sittway), Jumat dua pekan lalu. Jam menunjukkan pukul 10.30. Seorang pria bersarung dan berkaus cokelat menyalami kami yang tengah mengobrol di halaman rumah panggung M. Rofiq di Latoma Roa, kawasan Rohingya. "Saya ayah Zaidul Haq," kata Abdul Syukur, yang tinggal di salah satu kamp pengungsi Ohn Taw Gyi. "Baru Rabu lalu kami berbicara," ujar pria 50 tahun ini.

Pada pukul 6 sore, ada missed call di telepon selulernya. Begitu tahu, dia segera menuju kafe Internet di Thae Chaung. "Kami bicara lewat Skype." Hal pertama yang dikisahkan anaknya: "Papa, saya baru saja terbebaskan dari kematian. Tidak ada baju di badan saya. Orang-orang menyelamatkan saya, juga membantu saya." Ia pun gembira anak-anaknya selamat, meski terdampar di Indonesia, bukan di Malaysia.

Saat Abdul Syukur berbicara, seorang bocah perempuan berbaju kembang-kembang ungu dan memakai jepit rambut datang. "Ini anak sulung Zaidul, Nur Habibi," Abdul Syukur memperkenalkan bocah 7 tahun itu. Begitu ditunjukkan foto ayahnya dari telepon seluler, Nur Habibi langsung mengusap air mata, menangis. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Rangkulan untuk menenangkannya justru membuatnya lebih sesenggukan.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

W
Willem pergi, mengapa Sumitro?; Astra: Aset nasional
1992-08-08

Prof. sumitro djojohadikusumo menjadi chairman pt astra international inc untuk mempertahankan astra sebagai aset nasional.…

Y
YANG KINI DIPERTARUHKAN
1990-09-29

Kejaksaan agung masih terus memeriksa dicky iskandar di nata secara maraton. kerugian bank duta sebesar…

B
BAGAIMANA MEMPERCAYAI BANK
1990-09-29

Winarto seomarto sibuk membenahi manajemen bank duta. bulog kedatangan beras vietnam. kepercayaan dan pengawasan adalah…