Seorang Martir Bernama Achmad Mochtar

Edisi: 18/44 / Tanggal : 2015-07-05 / Halaman : 58 / Rubrik : IQR / Penulis : Dody Hidayat, Erwin Prima, Andri El Faruqi


Pada 3 Juli, 70 tahun silam, Achmad Mochtar, salah satu ilmuwan kedokteran terkemuka yang dimiliki Indonesia, tewas dipancung polisi militer Jepang. Pada 3 Juli 2015, ilmuwan Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird meluncurkan karya mereka, War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine di depan pusara Mochtar di Ereveld, Ancol, Jakarta Utara. Karya itu sebagai penghormatan terhadap Mochtar. Dia dipaksa mengaku bersalah oleh Jepang melakukan pencemaran terhadap vaksin untuk romusha sehingga hampir 400 romusha di kamp Klender tewas terkena tetanus. Sangkot berpendapat pengakuan itu dibuat Mochtar untuk menyelamatkan belasan sejawat dan bawahannya yang juga ditahan Kenpeitai. Mochtar adalah dokter yang banyak tahu bagaimana, pada masa perang, Jepang bereksperimen membuat vaksin tetanus dengan kelinci percobaan orang-orang romusha. Untuk menutupi eksperimen maut itu, Jepang mengkambinghitamkan Mochtar. Tempo menelusuri cerita tentang bagaimana Jepang membuat vaksin antitetanus itu. Seorang sejarawan Jepang, Profesor Aiko Kurasawa, banyak membantu Tempo dengan memberi informasi. Ia sendiri juga melakukan penelitian selama puluhan tahun mengenai proyek rahasia antitetanus Jepang ini. Juga bagaimana vaksin itu diujicobakan di kamp-kamp romusha di Jawa dan membuat ratusan romusha tewas. Sebuah kolom khusus ditulisnya untuk Tempo.
Bergetar bibir RA Kantjana Kusumasudjana, 93 tahun, saat menceritakan pengalamannya ditangkap oleh polisi militer Jepang 70 tahun silam. Beberapa kali ia terdiam dengan tatapan mata ke depan. Ia seperti menahan tangis. Nanny—begitu Kantjana disapa—ketika itu masih gadis dan bekerja sebagai analis di Laboratorium Eijkman di Batavia. Pada tengah hari awal Oktober 1944, saat makan siang di kafe kecil dekat kantor, Nanny dikejutkan oleh datangnya tamu berpakaian putih-putih. Tanpa penjelasan, si tamu menyuruhnya masuk ke mobil.

"Saya sangat kaget, tidak tahu mengapa saya dibawa dan mau dibawa ke mana," ujar Nanny terbata-bata, saat ditemui di kediaman putrinya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Rasa terkejut Nanny bertambah karena ia dibawa memasuki bangunan bekas sekolahnya, Rechthogeschool—kini gedung Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Ternyata sekolah Nanny telah berubah menjadi markas Kenpeitai. Di dalam bangunan itu terdapat sel-sel tahanan. Nanny mengingat sel itu cukup luas. Bagian depan sel ditutup terali kayu, sedangkan di bagian belakang terdapat selokan air.

Nanny ditempatkan di sel nomor 6. Ternyata di situ sudah ada Ko Kiap Nio, koleganya sesama analis. Belum sempat bertanya gerangan yang terjadi, Nanny harus bungkam begitu penjaga sel menghardiknya. Tanpa Nanny ketahui, di sel-sel lain turut mendekam pimpinan dan staf Laboratorium Eijkman, seperti Direktur Achmad Mochtar, Wakil Direktur Joehana Wiradikarta, Kepala Bagian Bakteriologi M. Ali Hanafiah, Kepala Bagian Kimia Soetarman, analis Jatman dan Subekti, serta mantri laboran Moehtar. Juga ada dokter Asikin Widjajakusuma dan Soeleiman Siregar dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) serta dokter Marzoeki, Marah Achmad Arif, dan Soeleiman dari Djawatan Kesehatan Kota.

"Sewaktu diperiksa, saya ditanya apakah saya yang mencuri…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…