Menguji Buih Dan Dalamnya Air

Edisi: 28/20 / Tanggal : 1990-09-08 / Halaman : 22 / Rubrik : NAS / Penulis : Ahmed K. Soeriawidjaja, Priyono B. Sumbogo, Linda Djalil, Sri Indrayati


ADA pepatah lama yang sudah dilupakan orang, "Kepala sama berbulu, pendapat berlainan". Kini kata orang-orang tua itu seakan-akan diingatkan kembali oleh Presiden.

Dalam pidatonya di depan anggota DPR, 16 Agustus yang lalu, Kepala Negara menyebut bahwa demokrasi memang membutuhkan "banyak musyawarah, diskusi, tukar pikiran, dan dialog." Karena itu, kata Presiden, tak perlu lagi ada kekhawatiran karena ada keanekaragaman pendapat. Kekhawatiran seperti itu "bukan saja berarti kita menyangsikan keampuhan Pancasila, tetapi juga menghambat perkembangan Pancasila itu sendiri," kata Pak Harto dengan jelas.

Isyarat akan dibukanya koridor kebebasan berpendapat yang lebih lebar? Barangkali. Hanya selang dua minggu kemudian -- akhir Agustus lalu -- Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo seolah-olah menjabarkan pernyataan Presiden. Di depan para wartawan di Surabaya, Sudomo membuat banyak wartawan dan pelanggan koran asing dan dalam negeri jadi sedikit lega. Katanya, pers bebas saja memuat pernyataan atau pendapat seseorang "asal tak bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan tak membahayakan kepentingan nasional".

Sebenarnya pernyataan itu, seperti halnya pernyataan bahwa pers itu "bebas asal bertanggung jawab", bukan baru. Yang baru ialah ucapan Menteri Sudomo yang mengecam salah satu cara sensor terhadap pers selama ini: kebiasaan menghitamkan berita atau artikel tertentu yang dimuat oleh surat kabar atau majalah terbitan luar negeri yang masuk ke Indonesia.

"Tak ada gunanya," kata Sudomo. "Toh orang yang ingin tahu berusaha mencarinya. Foto kopinya yang malah beredar." Sedangkan tentang cara penyensoran pers di dalam negeri -- dengan cara menelepon pimpinan media massa agar tak memuat suatu berita tertentu -- Sudomo bermaksud meniadakan "budaya telepon" ini (lihat: Pers Kita Kurang Berani).

Dalam hal sensor cat-hitam Sudomo benar: tak ada gunanya. Kian dihitami sebuah berita, kian menarik perhaiian orang berita itu. Akhirnya, kian dicari. Pengalaman dengan buku The Satanic Verses Salman Rushdie dan buku-buku Pramudya Ananta Toer membuktikan: kalau mau membuat sebuah tulisan atau buku jadi menarik perhatian, (dan laris), larang saja.

Namun, dalam hal imbauan via telepon, yang…

Keywords: SensorKebebasan Pers
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?