Sang Petarung
Edisi: 30/44 / Tanggal : 2015-09-27 / Halaman : 52 / Rubrik : MEM / Penulis : Heru Triyono, ,
Setelah lima cangkir berisi teh dihidangkan, Amrus Natalsya membawakan puisi "Warna dan Mata" sembari duduk. Puisi ini mengenang tragedi Mei 1998. Ia baru saja meluncurkan buku. Judulnya Kumpulan Puisi-puisi Amrus Natalsya. "Saya menulisnya dari 2012 hingga 2014," ujar Amrus di galerinya, Jalan Mayjen H.E. Sukma, Cigombong, Lido, Bogor, Selasa awal September lalu. Bukunya setebal 572 halaman.
Heru Triyono, Aisha Saidra, dan fotografer Frannoto dari Tempo mendengarkan pria 82 tahun itu membacakan salah satu puisinya tersebut sebelum wawancara digelar di ruang kerjanya selebar 3 x 3 meter, di belakang bangunan galeriââ¬âbersebelahan dengan makam istri pertamanya, Prayati, dan makam anaknya, Ananta Putra. "Ini patung rumah susun yang sedang saya kerjakan," kata Amrus memamerkan karya patung barunya dari kayu nangka.
Dia hampir botak, dengan petak-petak rambut putih menipis. Dengan suara parau, ia berkelakar tentang penyakit yang dideritanya, yakni kanker usus. "Dokter bilang tak ada gunanya dioperasi, mungkin enggak mau rumah sakitnya sebagai tempat seorang komunis meninggal," ujarnya menahan sudut bibirnya yang tertarik ke atas.
Amrus adalah perupa realis revolusioner yang suka mengangkat kehidupan masyarakat bawah. Ia mendapat pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada 1962, bersama teman dari ASRIââ¬âIsa Hasanda, Misbach Tamrin, dan Djoko Pekikââ¬âAmrus mendirikan Sanggar Bumi Tarung, yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta.
Patung pertama buatannya berjudul Orang Buta yang Terlupakan mencuri perhatian. Saat kegiatan lustrum pertama ASRI pada 1955, di gedung Sono Budoyo, Yogyakarta, Presiden Sukarno yang hadir membeli patung itu. Karya lain yang menjadi koleksi Sukarno bertajuk Kawan-kawanku.
Pada akhir 1990-an, Amrus melahirkan karya fenomenal berjudul Pecinan, dalam bentuk cukil kayu, yang menjadi cirinya. Namanya harum setelah Wali Kota Jeddah pada 1970-1980-an, Mohammed Said Farsi, meminta dia membuatkan lima buah kaligrafi kayu berlafazkan Allahu Akbar di Jeddah, Arab Saudi. Farsi merupakan kolektor seni ternama yang membuat Jeddah sebagai kota galeri seni dunia.
Percakapan kami berlangsung tiga jam dengan suara berisik burung cucakrowo dan kenari sebagai latar belakang. Amrus berbicara perlahan dan kadang terdiam untuk menempatkan tangannya di dahi mencari detail yang terlupakan. Didampingi Misbach Tamrin, ia banyak bercerita mengenai Sanggar Bumi Tarung, apa yang dialaminya sebagai seorang komunis, dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…