Dwi Martono Dan Kecurigaan-kecurigaan Itu
Edisi: 11/45 / Tanggal : 2016-05-15 / Halaman : 94 / Rubrik : SN / Penulis : Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, Moyang Kasih Dewimerdeka
Aminudin T.H. Siregar, kritikus seni rupa, seperti tak asing melihat karya lukis Dwi Martono. Sore itu, 16 April, Aminudin, yang biasa dipanggil Ucok, datang ke Taman Budaya Yogya untuk menonton pameran bertajuk "Memori yang Dibayangkan" karya perupa Dwi Martono dan Maman Rahman. Pameran ini disponsori Agung Tobing, pialang saham yang juga kolektor. Kurator pameran pada 14-23 April 2016 itu adalah dua dosen seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dwi Marianto dan Suwarno Wisetrotomo.
Ucok melihat satu per satu karya yang tersaji. Dwi menyajikan empat lukisan berukuran superbesar. Ucok kaget, terutama menyaksikan penggambaran raut muka, ekspresi wajah, dan pose figur di dua karya Dwi: Keringat di Bebatuan dan Tandu yang Kesekian Kali. Keduanya bertema sekitar kemerdekaan. Menggunakan telepon selulernya, Ucok sampai memotret dan men-zoom figur-figur di lukisan itu.
"Melihat serdadu Belanda yang diikat di pohon di lukisan Tandu yang Kesekian Kali, saya segera teringat lukisan Soedibio, PETA, koleksi Oei Hong Djien (OHD), yang saya ragukan keasliannya," kata Kepala Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung tersebut. Publik seni rupa ingat, pada awal April 2012, kolektor kondang dr Oei Hong Djien membuka museum pribadinya di Jalan Jenggolo 14, Magelang, Jawa Tengah, untuk umum. Siapa saja bisa masuk dengan membeli tiket. Museum OHD itu memajang koleksi barunya, antara lain karya Hendra Gunawan, Sudjojono, dan Soedibio, yang selama ini jarang dilihat publik.
Banyak pengamat seni rupa terperanjat. Sebab, koleksi baru sang dokter penuh kejanggalan. Karya Soedibio, misalnya. Soedibio (almarhum) selama ini dikenal pelukis dekoratif Jawa. Tapi di museum itu lukisan-lukisannya bertema sadistis. Lukisan berjudul PETA (1947) itu, misalnya, menggambarkan seseorang yang terikat di pohon dan tampak habis disiksa. Juga lukisan Djepang Mati Ketepang (1955), yang menampilkan dengan besi runcing rakyat tengah menusuk serdadu Jepang.
"Lukisan itu sangat berbeda dengan karya-karya Soedibio yang pernah saya lihat," kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T. Agus ingat ia pernah bertemu dengan Soedibio saat sang pelukis berpameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Juli 1980. Pameran itu menampilkan 45 lukisan bertema wayang, mitologi, pemandangan, dan satu-dua potret keluarga. Agus sempat bertanya mengapa Soedibio tidak menghadirkan tema revolusi perjuangan seperti Hendra Gunawan. "Seingat-ingat, Embah hanya satu-dua kali melukis revolusi. Itu pun berupa simbol-simbol dan kayak poster," ujar Agus menirukan Soedibio,…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.