Menteri Komunikasi Dan Informatika Rudiantara: Kita Tak Ingin Jadi Bangsa Kaca Spion
Edisi: 34/45 / Tanggal : 2016-10-23 / Halaman : 100 / Rubrik : WAW / Penulis : Raymundus Rikang, Ayu Prima Sandi, Efri Ritonga
MENTERI Komunikasi dan Informatika Rudiantara kembali berhadapan dengan operator telekomunikasi, dunia yang digelutinya sebelum menjabat menteri. Salah satu yang menyita perhatiannya adalah polemik penurunan biaya interkoneksi atau tarif sambungan antaroperator.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menentukan biaya acuan interkoneksi Rp 204 per menit panggilan telepon, turun dari tarif sebelumnya Rp 250. Rudiantara mengatakan, sejak awal tahun lalu, ia sudah menyampaikan rencana penurunan itu kepada operator seluler.
Sebagian besar operator seluler menyambut baik penurunan itu. Tapi ada pula operator yang keberatan dengan alasan masih membangun infrastruktur di pelosok dan teknologi yang mereka gunakan baru. Pemerintah akhirnya menunda penerapan penurunan biaya interkoneksi, yang semula direncanakan berlaku mulai 1 September 2016. ââ¬ÂSaya bukan menteri bagi operator A atau B, melainkan menteri semua operator,ââ¬Â kata Rudiantara.
Pada Rabu dua pekan lalu, pria 57 tahun ini menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, Ayu Prima Sandi, Efri Ritonga, Sapto Yunus, dan fotografer Frannoto di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, untuk sebuah wawancara. Dengan bersemangat, Rudiantara bercerita tentang banyak hal, dari program 1.000 Startup Digital; perekrutan bos Alibaba, Jack Ma, sebagai penasihat e-commerce Indonesia; hingga perpanjangan izin siaran stasiun televisi.
Bagaimana Anda menghadapi operator telekomunikasi yang keberatan terhadap penurunan biaya interkoneksi?
Interkoneksi itu hak pelanggan. Karena sudah masuk rezim kompetisi, ada multi-operator yang bersaing. Interkoneksi hanya terjadi dalam konteks teknologi yang lama, namanya circuit switch. Kita sekarang sudah masuk teknologi baru berbasis data, namanya IP switch. Sebenarnya tak ada lagi masalah interkoneksi, apalagi jika Palapa Ring sudah sempurna.
Beberapa operator minta tarif interkoneksi lebih rendah dari Rp 204 per menit panggilan, sementara ada operator yang minta lebih tinggi.
Tarif itu ditinjau rutin. Data menunjukkan tarif sejak 2008 sampai sekarang relatif datar, hanya turun Rp 1. Di sisi lain, teknologi yang dipakai untuk menghitung tarif interkoneksi sudah ada sejak 1995 dan pasti ada penurunan drastis. Makin ke sini harus menghitung teknologi yang baru. Kalau ada operator yang minta naik, logikanya di mana?
Mereka beralasan masih membangun infrastruktur di pelosok dan teknologi yang digunakan baru.
Sama saja. Dikira pemerintah juga tidak membangun? Lalu logikanya, kalau mereka membangun jaringan baru, apakah hitungannya menggunakan interkoneksi? Enggak. Hitungannya pakai data.
Apakah tarif interkoneksi memang sudah saatnya direvisi?
Setiap dua tahun. Jatuhnya tahun ini. Sejak awal 2015 sudah saya sampaikan ke operator bahwa interkoneksi harus turun signifikan. Interkoneksi itu kan jadi komponen biaya bagi operator. Kalau biayanya turun, kan industri jadi efisien.
Apakah benar klaim bahwa turunnya biaya interkoneksi membuat operator merugi puluhan triliun rupiah?
Pendapatan interkoneksi saja tiap tahun selalu menurun, sejalan dengan masuknya data. Saya menghitung, dengan nilai tersebut, sama saja mereka merugi selama 25 tahun. Teknologi…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…