Danau Gunung Tujuh, Mengarungi Riak Danau Tertinggi

Edisi: 37/45 / Tanggal : 2016-11-13 / Halaman : 94 / Rubrik : LIPSUS / Penulis : Mahardika Satria Hadi , ,


Sampan kayu kembar milik Sahril bergerak pelan menjauhi tepi Danau Gunung Tujuh di Kabupaten Kerinci, Jambi. Dari pondok merah tempat Sahril tinggal, perahu tak bercat itu melaju menuju Pasir Putih, area mungil mirip pantai di sisi seberang danau. Kami—saya dan fotografer Amston Probel—menumpang biduk sepanjang tiga meter itu bersama delapan orang lain. Lima orang duduk berbaris di tiap sampan yang tersambung papan.

Kami bergantian mendayung perahu. Dayung kayu terkadang bergerak seirama, sembari diiringi aba-aba dari salah seorang di antara kami. Namun kekompakan itu kerap tak berlangsung lama, terutama saat lengan pendayung mulai terasa pegal. "Tidak apa-apa, lambat-lambat asal selamat," kata Frengky Saputra, salah seorang penumpang, sembari mengayuh dayung.

Awal perjalanan kami cukup menegangkan. Dari kami bersepuluh, hanya Sahril yang mengenakan jaket pelampung. Padahal sampan penuh penumpang. Sering air masuk ke sampan bila kami mendayung terlalu kencang. Dengan piring plastik, kami menyeroki air agar biduk tak karam. "Kalau sampan ini terbalik, saya pertama kali akan meraih Pak Sahril agar tetap mengapung," kata pemandu kami, Iin Rudhiansyah, berkelakar.

Untungnya siang itu, akhir September lalu, cuaca cerah. Sesekali sampan melaju kencang, mengarungi riak air danau yang terasa dingin. Air yang hijau kebiruan itu rupanya sangat jernih bila dilongok dari dekat. Bahkan bisa langsung diminum. "Kami sudah lebih dari 10 kali ke danau ini, tapi baru sekarang ke Pasir Putih," ujar Frengky.

Frengky, 26 tahun, datang bersama Aryo Dwicahyo, Tektonik Olim, Charles Bronson, dan Mece Nofriadita. "Kami rombongan satu desa," ucap Aryo, menyebut Desa Lolo Gedang di Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci, Jambi. Mereka terlihat antusias menuju Pasir Putih, yang perjalanannya kami tempuh hampir dua jam. "Namanya saja Pasir Putih, tapi pasirnya warna cokelat," ujar Sahril, si pemilik sampan dan kuncen danau, terkekeh.

l l l

Sahril tak berhenti menebar senyum. Sejak kami tiba di Danau Gunung Tujuh, pria 59 tahun ini telah duduk di sebuah batu hitam di pinggir danau. Sampan kayu ia tambatkan di sela batu besar. "Saya sendiri yang beli," kata Sahril saat kami menanyakan topi merah bertulisan Endank Soekamti—grup musik punk asal Yogyakarta—yang ia kenakan.

Saban pagi Sahril, yang tinggal di pondok merah—sebutan untuk area tepi danau di seberang dan berjarak setengah jam berperahu—selalu bersiaga di tempat kami tiba. Pria berkulit legam ini menawarkan jasa sewa biduk kepada pengunjung. "Saya tiap pukul 08.00 ke sini. Ada muatan, pulang. Ndak ada muatan, pulang," katanya. Pulang yang Sahril maksud adalah ke sebuah gubuk di pondok merah itu, tempat ia sehari-hari menginap.

Kami tiba di Danau Gunung Tujuh setelah mendaki sekitar empat jam. Pendakian dimulai dari gerbang kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Desa Pelompek, Kecamatan Kayu Aro. Hanya ada satu rute berupa jalan setapak berliku membelah hutan. Jalurnya menanjak dengan kemiringan lereng mencapai 50-60 derajat. Bagi yang tidak terbiasa naik gunung, jalur mendaki ke Danau Gunung…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Merebut Kembali Tanah Leluhur
2007-11-04

Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, megawati soekarnoputri akan mengalahkan susilo bambang yudhoyono di kota blitar.…

D
Dulu 8, Sekarang 5
2007-11-04

Pada tahun pertama pemerintahan, publik memberi acungan jempol untuk kinerja presiden susilo bambang yudhoyono. menurut…

Sirkus Kepresidenan 2009
2007-11-04

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. dia biasa menyampaikan bahan…