Utusan Berdarah Biru

Edisi: 52/45 / Tanggal : 2017-02-26 / Halaman : 50 / Rubrik : MEM / Penulis : Martha Warta Silaban, Dian Yuliastuti,


Di usianya yang telah melampaui 80 tahun, Franz Magnis-Suseno, SJ, masih terlihat energetik. Bila tak ada undangan di luar kampus, ia memilih berjalan kaki dari rumahnya di Johar Baru menuju Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Ia masih kerap mengendarai Vespa untuk menghadiri acara-acara yang jauh dari tempat tinggalnya.

Kesibukan Romo Magnisdemikian ia akrab disapasebagai Ketua Yayasan Pendidikan Driyarkara dimulai pada pagi hari. Ia bangun pukul 05.00, kemudian mengikuti misa satu jam berikutnya, dilanjutkan sarapan dan bersiap ke kantor. Di tengah kegiatannya mengajar, tawaran menghadiri acara di luar kampus masih mengalir.

Ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 1969 dan menjadi dosen tetap. Ia mempelajari filsafat di Jerman dan teologi di Yogyakarta. Kedatangannya ke Tanah Air untuk membantu gereja dan misionaris di Indonesia, dengan pertimbangan ia memiliki keahliannya tentang komunisme. Apalagi, saat itu ancaman komunisme besar dengan adanya Partai Komunis Indonesia.

Memutuskan masuk Jesuit dan menjadi rohaniwan di Jerman pada 1955, Romo Magnis melamar agar dikirim ke Indonesia. Enam tahun kemudian, pria berdarah biru itu mendarat di Kemayoran, Jakarta. Ia pun mempelajari budaya Jawa di Giri Sonta, Ungaran; dan perdesaan Boro di Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah. Ia fasih berbahasa Jawa dan menyukai wayang. Di kantornya yang berukuran 5 x 7 meter, terpajang antara lain tokoh wayang Adipati Karna.

Ketika belajar filsafat di Mnchen, Jerman, ia mengambil studi tentang Karl Marx untuk mempelajari komunisme. ¡±Kami mendapat dukungan gereja karena komunisme dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap gereja pada abad ke-20,¡± ujarnya dalam wawancara dengan Tempo di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Senin pekan lalu. Romo Magnis juga aktif membangun dialog antarumat beragama. Ia kritis terhadap masalah ketidakadilan dan hak asasi manusia. Dari tangannya telah lahir pelbagai buku, dari soal etika, filsafat, hingga keberagaman.

Saya lahir dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Jerman, pada 26 Mei 1936. Ayah saya adalah Pangeran Ferdinand Graf von Magnis, yang menikah dengan putri Maria Anna Gräfin von Magnis, né Prinzessin zu Löwenstein. Gelar Graf kami miliki setelah nenek moyang saya menunjukkan kehebatannya selama pertempuran pada abad ke-17.

Selama delapan tahun pertama hidup saya, saya bersekolah dan tinggal di Eckersdorf yang indah, dengan pemandangan pegunungan. Namun Perang Dunia II membuat kami harus…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kisah Seputar Petisi 50
1994-02-05

Memoar ali sadikin. ia bercerita panjang mengenai petisi 50 dan sisi-sisi kehidupannya

K
KIAI HAJI ALAWY MUHAMMAD: TAK MUDAH MELUPAKAN KASUS NIPAH
1994-05-28

Kh alawy muhammad, 66, tokoh ulama yang menjadi mediator antara pemerintah dan rakyat ketika terjadi…

A
Anak Agung Made Djelantik: Dokter yang Giat Mengurusi Seni
1994-04-09

Memoar anak agung made djelantik, perumus konsep dasar seni lukis bali. ia pernah menggelar festival…